Ingin Kembali ke Desa
Aku tumbuh di desa yang kecil dan terpelosok. Kubilang
terpelosok bukan karena jarak yang jauh dari kota tapi karena jalannya yang
rusak parah. Bersiaplah untuk bergoyang-goyang sepanjang perjalanan karena ada
banyak lubang lebar yang sudah bisa dijadikan kolam lele ketika musim hujan. Di
musim kemarau maka debu akan menjadi santapan lumrah di sepanjang jalan.
Hal ini membentuk keinginan yang kuat dalam diriku bahwa
nanti kelak ketika dewasa aku tidak mau tinggal di kampung itu. Aku harus
sekolah tinggi agar bisa bekerja di kota. Bahkan untuk suamiku kelakpun aku
tidak mau yang berasal dari desa terpencil agar kelak tidak mengalami kesusahan
ketika pulang kampung.
Tujuh tahun sudah sejak aku tamat kuliah. Lima tahun bekerja
kantoran dan sekarang menjadi ibu rumah tangga. Selama menjadi ibu rumah
tangga, pemikiran dan keinginanku banyak berubah. Salah satunya adalah yang
kutuangkan di tulisan ini.
Diantara para pengendara yang tidak tahu aturan, berisiknya
klakson dari orang-orang yang tidak pernah sabar, para pengendara transportasi
umum yang tidak mengindahkan keselamatan penumpangnya, mobil-mobil terbaru
dengan harga yang semakin murah, diantara kerumuman orang-orang yang berbelanja
di mal dengan gaya bak artis, selalu ramainya gerai-gerai makanan siap saji dan
dengan bangga para penikmat membagikan foto-foto makanan tersebut, semakin
maraknya sekolah-sekolah yang katanya bagus tapi mahal, macam-macam les untuk
anak agar bisa menjadi nomor teratas di sekolah, uang kuliah yang semakin
mahal, semakin lama pulang dari kantor semakin baik.
Hal-hal diatas ditambah juga buku-buku yang kubaca membuatku
merindukan suasana desa yang tenang dan sederhana.
Rumah kecil dengan pekarangan yang luas. Dikelilingi pohon
buah-buahan, sayuran dan hewan ternak. Dikelola secara organik dengan
memanfaatkan limbah rumah tangga. Air jernih dan segar yang cukup dimasak saja jika
ingin diminum jadi tidak perlu beli Aqua yang harganya selangit. Berjalan kaki
atau bersepeda kemana-mana. Anak-anak bersekolah di rumah (homeschooling),
membuat komunitas belajar untuk anak-anak di desa tersebut. Terlibat aktif di
gereja setempat. Sawah yang terhampar luas menjadi pemandangan sehari-hari,
bermandikan cahaya matahari, sesekali mandi air hujan dan mandi di sungai, dan
banyaaaak hal lainnya.
Seperti bagian lirik dari lagu batak Pulo Samosir ; …gok
disi hasang nang eme nang bawang rarat do pinahan di dolok i…”
Aku semakin bisa memvisualisasikan lirik lagu ini karena
setiap hari melihat tayangan di halaman facebookku. Salah satu teman di
facebookku selalu menayangkan satu foto pemandangan di danau toba dan desa-desa
di sekitarnya. Motivasinya adalah untuk menularkan rasa cinta pada danau toba
yang kian hari kian rusak. Selanjutnya diharapkan tumbuh rasa tanggung jawab
untuk menjaganya. Melihat foto-foto tersebut dan mendengarkan lagu Pulo Samosir
arrasement viky sianipar setiap hari (karena etha selalu minta agar dvd lagu
ini diputar :P) keinginanku semakin kuat. Desa yang kumaksud bukanlah spesifik
harus desa di sekitaran danau toba. Dimanapun itu. Suatu saat nanti semoga kami
bisa kembali ke desa bersahabat dengan alam dan masyarakat di dalam
kesederhanaan. Amin
Comments
Post a Comment