Natal yang Tertukar
“Ta, nanti kita mau ketemu Mattan lo”, kataku, sambil
menyetrika, pada Etha yang sedang asyik melihat foto-foto di laptop.
“Mattan, sopii, gogommm,makan uee,miii,kasi balon eta”,
jawab Etha panjang.
Setiap kali aku sebut Mattan, Etha langsung teringat acara
ulang tahun kakak Sophie tempo hari. Waktu itu kami makan kue, mi, dan dia
dapat balon dari Bou.
“Iya, nanti kita mau natalan IBANA. Mattan, kakak Sophie
sama abang Gomgom juga datang. Eta nanti nari We Wish You A Marry Christmas
ya”, sambil kuperagakan gerakan tariannya. Ethapun mengikuti gerakannya sambil
tersipu-sipu malu.
Natal IBANA dimulai pukul 16.00, jadi kuperkirakan kami
harus berangkat pukul 15.30. Kulanjutkan menyetrika dan Etha lanjut memandangi
foto-foto di laptop sambil mengoceh sesekali. Tidak lupa menyetrika baju baru
Etha yang akan dipakai di perayaan natal IBANA nanti.
Sekitar pukul 14.30, waktunya untuk beberes diri.
“Mamak, nyenyen”, rengek Etha.
“Nanti ya, mandi dulu”, bujukku.
“Nyenyen mamak, nyenyen”. “Nanti aja”. “Nyenyennnn…”. Kalau
sudah begini tidak bisa tidak, kede harus segera dibuka. Tidak berapa lama
“nyenyen” diapun terlelap di pangkuanku.
Tak apa. Akupun membaringkannya di tempat tidur lalu aku
lanjut beberes diri dan meyiapkan remeh-temeh yang akan dibawa. Tidak lupa
memastikan kado kecil untuk acara tukar kado nanti sudah masuk dalam tas.
Kusiapkan juga washlap biar nanti Etha dilap saja disana, tidak perlu mandi
karena waktu sudah mepet.
Setelah aku siap, perlahan-lahan kupakaikan popok dan pakaian
Etha agar dia tidak terbangun. Ternyata gerakankan tidak cukup halus, diapun
bangun. Buru-buru kupakaikan bajunya, lalu kamipun berangkat.
Walaupun sudah sore tapi sinar matahari masih menyengat.
Payung abu-abu pun siap menghadang sengatannya.
Ootd-ku di sore itu adalah t-shirt batik, rok lipit (duh, apa ya nama
bahannya itu?), sendal jepit,tas ransel di belakang, anak dengan bobot 10,5 kg
digendong di bagian depan, tangan kanan memegang payung. Oh iya, bedak tipis
dan lipstik ala kadarnya juga. Kamipun siap berjalan kaki menempuh 300 meter
menuju jalan raya. Lumayan (mencucurkan keringat) lah perjalanannya.
Dari jauh sudah terlihat angkot merah ngetem.
Kamipun naik sambil memohon dalam hati, “Tuhan, semoga supirnya bukan supir
yang “sundat jadi pembalap”. Syukurlah angkotnya berjalan dengan smooth.
Rute angkot merah ini tidak melewati venue natal yang kami
tuju. Jadi kami turun di simpang untuk selanjutnya naik Ada beberapa becak yang mangkal di simpang jalan tersebut. Sebenarnya bisa naik angkot
tapi pada saat itu tidak ada angkot yang sedang ngetem. Sudah lewat pukul
16.00. “Naik becak sajalah biar cepat’, pikirku.
Becakpun meluncur kencang ke tempat tujuan. Sempat
berkenalan dengan abang becaknya. Ternyata semarga. Jadi selanjutnya aku memanggil
dia-ito. Kusempatkan mengganti baju Etha dengan baju barunya walaupun sambil
bergoncangan di dalam becak. Biar nanti sesampainya disana kami bisa langsung
ikut ibadah.
“Eh..eh..lewat ito, itu tadi simpangnya”, aku teriak. Ito
tukang becak pun memutar balik becaknya.
Ternyata musim gali-mengali selokan tidak hanya terjadi di
jalan-jalan utama kota ini saja. Persis di simpang gang menuju tempat natal
juga sedang ada penggalian selokan. Suara bor memekakan telinga. Ada lubang
besar bekas galian sehingga becak tidak bisa masuk ke dalam gang. Akhirnya aku
terpaksa melompat . Untung selamat sampai ke seberang.
Rumah tempat ibadah natal sudah terlihat. Tapi ada yang
aneh. Tidak ada terdengar suara riuh anak-anak. Tumpukan sandal di teras rumah
juga nihil. Gerbang tertutup.
Aku lemas…
Jangan-jangan?
Aku tetap masuk. Kubuka gerbang yang memang hanya dikunci
dengan engsel. Sontak Kak Nelly dan Kak Melati, kakak yang biasanya mengajar
anak-anak, keluar. Dengan wajah heran dan sedikit senyuman mereka menyambutku.
"Kak, natalnya bukan hari ini ya"?, tanyaku dengan suara
lirih.
"Kemarin kak", Kak Melati menjawab sambil mendekatiku.
Kurasakan keringat mengucur deras di wajahku. Kulirik Etha
yang terdiam memandang ruangan yang sepi. Mataku rasanya ingin mengeluarkan air
tapi kutahan karena gengsi.
Maafkan mamak sayang. Entah bagaimana, jadwal natal yang
seharusnya hari Selasa bisa tertukar menjadi Rabu di otak mamak.
I have missed her first noel this year.
Comments
Post a Comment