Jejak-Jejak di Gunung Sibayak
Seorang pendaki profesional, Reinhold Messner yang telah melakukan pendakian ke berbagai puncak tertinggi di dunia mengungkapkan bahwa tujuan utamanya mendaki bukan untuk menikmati alam tapi mempertemukan dirinya berhadapan dengan gunung itu sendiri, menguji seberapa kuat dirinya menaklukkan ketinggian gunung. Dengan idealismenya, Reinhold pernah dan berhasil mendaki puncak Everest tanpa bantuan tabung oksigen.
Reinhold punya kisah pendakian, kami juga punya kisah
pendakian. Pendakian yang tak seberapa
jika dibandingkan Reinhold tapi pengalaman yang pertama dan luar biasa bagi
kami.
Ketinggian gunung Sibayak kurang lebih 2.200 m. Ini tentu
diukur dari permukaan laut. Mobil dari Medan terus merangkang naik menuju
Brastagi, entah sudah berapa meter itu ketinggiannya. Dari Brastagi, kami masih
menggunakan mobil menuju pos jaga. Di situ mobil di parkir, tiket masuk untuk
empat orang ditambah uang parkir Rp 60.000 dibayarkan ke petugas. Ada buku tamu
yang mesti diisi juga. Jadi pendakian kami tidak lah sampai 2.200 m.
Berhitung angka-angka tidak terlalu menarik dan kami tidak sedang mengumpulkan rekor ketinggian yang telah kami capai. Pengalaman menapaki jalan menanjak, kecil, becek dan berbatu bersama dua bocak lebih asyik untuk dituliskan.
Dari rekam jejak hidupku, aku bukanlah petualang. Belajar
keras dan berhemat adalah prinsip hidup masa muda yang tidak akan membuatku
melangkah lebih jauh dari halaman kampus. Bapak Etha lumayan ada sekelumit
kisah yang patut dibanggakan, dia pernah hiking
ke Sinabung.
Dari parkiran mobil, jalan ke atas beraspal. Sebetulnya bisa
dilalui mobil andai beberapa titik jalan yang rusak diperbaiki. Sepeda motor
tentu bebas melenggang sampai bertemu kios-kios penjual makanan. Di lokasi ini
motor diparkir dan tersedia banyak tempat berkemah.
Kami berjalan dengan semangat. Menikmati suasana hutan
alami di kiri kanan. Berbagai macam suara hewan menemani kami. Sesekali kami
berpapasan dengan pendaki yang berjalan turun. Ada semacam norma yang terbentuk
di kawasan ini, norma yang dicontoh dari semut, bertegur sapa setiap kali
berpapasan. Kami menerima suntikan semangat dari mereka dan memuji bocah-bocah
yang sedang mencoba mendaki gunung.
Energi kami tidak terlalu terkuras menempuh jalur ini. Kami jalannya
santai karena memang tidak ada target apa-apa. Sarapan nasi goreng yang dimakan
bocah-bocah dan suami di penginapan pun belum terproses penuh. Mereka masih
kenyang. Aku yang hanya makan beberapa potong bengkoang juga masih kenyang. Tapi
nasi uduk yang kubeli di depan mini market di dekat penginapan di Brastagi
memanggil-manggil untuk dinikmati. Lagi pula, akan merepotkan menenteng dua
bungkus sarapan ke atas.
Selalu ada kenikmatan tersendiri makan di alam (meski kami
duduknya di kios). Itu nasi uduk terlezat yang pernah kumakan. Anak-anak makan
cemilan. Bapak Etha makan mi gomak dan minum kopi susu.
Rombongan pendaki baru saja turun ketika kami makan. Ada anak-anak
dua orang berusia sekitar delapan tahun. Mereka tidak membawa tas ransel. Tampaknya
mereka para pengejar sunrise yang
mendaki dari pukul enam pagi. Sepatu mereka berlumuran lumpur. Sekejap aku
sadar bahwa jalannya ternyata tidak aspal. Akhhh, tapi masak turun sedangkan
kami sudah membayar enam puluh ribu :P
Benar saja. Jalan menuju ke atas adalah tanah liat yang
basah oleh hujan tadi malam. Istilan jalan ini oleh petugas jaga adalah tapak
kuda.
Belum jauh mendaki kami memasuki gua pandan. Bukan gua sebetulnya tapi seperti terowongan di bawah rumpun pandan hutan (semoga tidak salah nama tanaman ini). Daunnya persis seperti pandan hanya saja jauh lebih besar dan berduri dipinggir-pinggirnya. Tipe akarnya juga sama dengan pandan. Berserabut besar-besar. Kuperhatikan akarnya juga berduri. Ini lebih tepat disebut sebagai pandan raksana. Besar sekali!
Perjalanan terus berlanjut menempuh jalanan berbatu dan
berpasir. Di kiri jalan jurang dan di sebelah kanan dinding batu padas. Tubuh punya
kecerdasan sendiri ketika berada di medan seperti ini. Secara instingtif kami
berjalan hati-hati. Kami bergantian memegang tangan Abe karena Abe belum bisa
fokus. Sedangkan Etha sudah bisa dilepas sendiri. Terkadang kami harus
memanggilnya supaya melambat. Jalan berkelok-kelok membuatnya cepat sekali
hilang dari pandangan kami.
Lagi-lagi kami berpapasan dengan banyak sekali pendaki yang
turun. Kami selalu diberi semangat dan pesan agar hati-hati, “Jalan licin kak”…”Ayo
semangat, dek!” Suntikan semangat khusus untuk para bocah. Perhatian mereka
lansung tertuju pada anak-anak yang berumur enam dan hampir empat tahun ini.
Kami berhenti berkali-kali. Lagi-lagi kami tidak membuat
target apa-apa. Ukuran lanjut apa enggak tergantung pada kesanggupan kami. Ketika
kepulan asap di puncak sudah terlihat rasa lelah sudah mulai terasa. Belum lagi
teringat jalan turunnya nanti. Tapi masak sudah capek-capek jalan enggak sampai
puncak! Kami terus mendaki.
Bau belerang mulai tercium. Di sana sini tenda bertebaran. Penghuninya ada yang lagi masak, tiduran, dan makan. Tegur sapa membuat keheningan pecah.
Kami berhasil berdiri di pinggir kawah letusan. Di sini suara
angin menderu-deru dan suara kepulan asap belerang ibarat pesawat terbang. Tapi
tidak bising. Luasnya puncak ini melenyapkan suara-suara itu seketika. Melayangkan
pandang ke penjuru julangan bukit batu dan jalan yang telah kami lampaui, aku
merasa sepeti sedang di dunia lain. Memang, ini dunia baru bagiku. Di ketinggian
hampir 2200 (kami tidak sampai ke puncak batu tertinggi). Etha langsung
mengambil posisi, duduk di bongkahan batu besar. Abe memunguti batu-batu kecil
dan bertarung sendiri dengan batu-batu itu. Bapak Etha sibuk dengan kameranya. Aku
santai melepas penat dan memasukan sebanyak mungkin keindahan ke dalam
memoriku.
Sekalipun alam tidak menjadi tujuan utama Reinhold dalam pendakiannya, kupikir dia tidak bisa tidak mesti takjub pada keindahan alam yang tersaji dari atas gunung.
Keindahan memang ada dimana saja. Bisa di alam bisa juga di
dalam diri. Perjalanan kami menurun lebih menantang ketimbang naik. Abe harus
kami oper-oper ditambah suasana menjadi suram karena mendung tiba-tiba
bergelayut dan suara petir berhamburan di langit. Adalah keindahan ketika di
susana menegangkan begitu kami berserah pada Pencipta. Memasrahkan langkah demi
langkah membuat kami tenang. Anak-anak menangkap ketenangan itu. Mereka terus
turun tanpa banyak mengeluh.
Kami sampai di kios tempat kami menikmati nasi uduk tadi
lebih cepat dibanding waktu mendaki. Hujan belum juga turun. Kami istirahat
menikmati teh manis dan biskuit yang kami siapkan tadinya untuk camilan di
atas. Tapi karena persediaan air minum sedikit kami tidak makan apapun di atas.
Perjalanan belum usai. Kami harus berjalan turun lagi ke
parkiran. Abe tidak mau lagi jalan. Dia capek dan ngantuk. Terpaksa kami
menggendong bergantian. Tapi karena ini sudah masuk dalam skenario kami lebih
siap menanggung bebannya. Kakiku terasa sakit setiap melangkah jadi aku
berjalan lambat dan tertinggal di belakang. Abe lebih banyak digendong bapaknya.
Ketika tetes hujan mulai turun aku mempercepat langkah dan ternyata rasa sakit
itu hilang. Bapak Etha bilang, memang di jalan menurun begitu justru semakin
sakit kalau jalan lambat. Akhhhh, kok gak dibilangnya dari awal, pikirku.
Begitulah kami melewatkan satu hari bercengkrama dengan
gunung Sibayak. Sebuah pertemuan yang berkesan. Yang paling berkesan adalah,
para pendaki selalu membawa sampahnya turun jadi tidak ada (oke, tidak seratus
persen bebas sampah karena aku masih melihat beberapa helai plastik) tumpukan
sampah di atas. Penjaga yang memberi karcis masuk memang berpesan agar sampah
dibawa turun. tapi tindakan terpuji para pendaki itu kupikir tidak semata-mata
karena anjuran si penjaga tapi otomatis merasa respek pada keagungan alam.
Comments
Post a Comment