Mengecap Sejarah Dari Kacamata Anak-anak
Aku baru tahu nama Nh. Dini.
Bukan bermaksud meratapi masa lalu tapi itulah faktanya, aku bisa lulus dari
SMA tanpa menyimpan nama Nh. Dini dalam kenangan. Ya. Aku terlalu banyak
berurusan dengan matematika, fisika, kimia dan kurang bergelut dengan sastra.
Jadi wajar saja aku lebih ingat nama Martin Kangenan ketimbang Nh. Dini.
Novel karya Nh. Dini yang pertama kubaca adalah Padang Ilalang di Belakang Rumah (2009). Buku ini pula masuk dalam rekomendasi CMid sebagai bahan bacaan Sastra untuk kelas 3 SD. Ini adalah salah satu dari empat novel seri Cerita Kenangan.
Dini hidup di masa peralihan
pendudukan Belanda ke Jepang. Bagi mereka, Jepang hadir sebagai penyelamat,
pengertian yang berasal dari propagada Jepang dengan semboyan, “Kemakmuran
bersama Asia Timur Raya.” Hidup yang semakin sulit di masa pendudukan Jepang
tidak menyurutkan masyarakat mendukung pemerintahan Jepang berharap agar
kehidupan semakin baik. Kenyataan lama-lama dipahami. Baik Belanda maupun
Jepang adalah sama-sama penjajah hanya saja bentuknya berbeda. Mereka hidup
dalam situasi yang tidak aman sehingga perlu ada lubang perlindungan yang di
gali di kebun. Bahkan jenis tanaman di kebun pun musti menyesuaikan perintah
dari penjajah.
Situasi ini tentu menegangkan
bagi orang dewasa dan perlahan dirasakan juga oleh Dini, seorang bocah kelas
satu. Di awal pendudukan Jepang masih memungkinkan bagi Dini pergi ke sekolah.
Kisah bersama dengan saudara kandung, bibi dan sepupunya terbaca menyenangkan.
Mereka punya pohon belimbing yang berbuah lebat memuaskan masa-masa mengidam
bibinya. Kita juga akan menyimak kekonyolan kakak laki-lakinya yang terjepit di
antara tiga cabang pohon. Bukannya ditolong malah diolok-olok karena mengira si
kakak hanya berpura-pura. Begitulah memang kehidupan kakak beradik, kadang
akur, kadang ribut. Tiap anak punya gelar masing-masing yang terlontar di
saat-saat ribut hingga si burung jalak kesayangan Bapak ikut-ikutan mengejek.
Kita juga bisa menyimak kearifan
masa lalu yang diyakini bisa memperbaiki kemampuan bicara. Jadi cincin kawin
orangtua Dini sering digosokkan ke lidahnya agar Dini semakin lancar bicara. Ternyata
di masa dulu pun orangtua berkeinginan besar agar anaknya pandai bergaul dan
anak yang sedikit bicara dianggap akan sulit bergaul.
Ada masa ketika kebebasan kanak-kanak
itu tercabut. Saat ketika terjadi pergolakan antara tentara bentukan Jepang
(PETA) dengan tentara Jepang. Mereka mendekam di rumah berhari-hari dikepung
suara tembakan sana-sini. Pada siang hari waktu berlalu tak berasa membosankan
karena bisa diisi dengan macam-macam permainan tapi ketika malam menjelang dan
setitik cahaya pun tak diperbolehkan menyala, suasana menjadi suram.
Ketika tembakan sudah berhenti
mereka keluar rumah. Pemadangan mengerikan menyertai Dini di perjalanan menuju
sekolah. Tumpukan mayat berbau busuk. Dari seragam terlihat bahwa meraka warga
sipil dan tentara Jepang. Dampak perang yang akan terus menancap kuat dalam
pikiran seorang Dini.
Tapi hidup kembali berjalan
seperti biasa. Dini kembali mengunjungi rumah pamannya. Di situ sudah ada bayi
bibinya bernama Asti. Bersama Asti mereka bisa bermain bayi sungguhan sambil
ikut mencicipi susunya.
Ketegangan perang tidak
sepenuhnya hilang. Pamannya harus pergi mengungsi karena sedang diburu oleh
tentara Jepang. Bibinya sempat dibawa oleh tentara Jepang untuk ditanyain
mengenai keberadaan suaminya. Seorang perempuan yang jantungnya lemah musti
berhadapan dengan tentara.
Membaca novel ini seperti turut merasakan
suasana ketika Jepang hadir di Indoensia. Dari bacaan buku Sejarah di sekolah
hanya akan menjumpakan kita dengan tanggal, peristiwa dan tokoh yang musti kita
hapalkan demi bisa menjawab soal ujian. Sangat membosankan dan tidak
menggetarkan. Berbeda dengan kisah yang dituturkan dari kacamata seorang anak
kecil. Kesehariannya di rumah, berinteraksi dengan kakak-kakak, melihat
kesedihan ibu, menonton wayang, menangkap belalang di padang ilalang menghadirkan
masa lampau untuk kita nikmati. Berbagai kerumitan yang dialami oleh seorang
anak kecil ketika berhadapan dengan orang dewasa yang sering kali membingungkan
akan menjadi perenungan yang baik bagi para orangtua.
Sesaat aku menyelesaikan buku
ini, aku langsung lanjut membaca Sebuah Lorong di Kotaku. Syukurlah bukunya masih
bisa ditemukan di market place tapi hati-hati
dengan buku bajakan. Karya-karya Nh. Dini sepertinya banyak dibajak. Mungkin karena
banyak yang meminati.
Comments
Post a Comment