Pendidikan Mandiri Lewat Narasi


Aku ingat dulu sewaktu sekolah ada namanya menceritakan ulang dengan kata-kata sendiri dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Biasanya yang diceritakan ulang itu cerpen atau dongeng yang terdapat dalam buku teks Bahasa Indonesia. Ternyata menceritakan ulang ini dalam Metode pendidikan Charlotte Mason disebut narasi. Namun, tugas menceritakan ulang jamanku sekolah sepertinya hanyalah kewajiban semata yang minim makna dan akhirnya terlupa begitu saja. Ini terjadi bisa saja karena ketidaktahuan mengapa dan apa perlunya menceritakan ulang suatu kisah dengan kata-kata sendiri.

Saat ini, aku memang sedang mendalami salah satu metode pendidikan klasik yang diusung oleh Charlotte Mason (CM) dan ilmu yg masih segar di kepala karena baru ikut belajar online yaitu tentang Narasi. Sebelum ilmunya keburu menguap maka cepat-cepat ilmu tentang narasi ini kunarasikan. Hahahhaa.

Narasi adalah teknis pelaksanaan metode pendidikan ala CM. Namun, sebelum membahas teknisnya bagaimana,hal yang sangat penting dipahami adalah filosofi yang mendasarinya. Teknis tanpa filosofi yang jelas hanya akan menjadi rutinitas minim makna seperti yang kualami di jaman sekolah dulu.

Mengapa harus narasi?

Manusia adalah makhluk rohani. Maka pendidikan musti pendidikan yang bersifat rohani. Bukan hanya sekedar memoles hal-hal yang tampak dari luar. Berbagai keterampilan, skill dan keahlian memang penting namun itu adalah hal-hal eksternal. Sedangkan untuk membentuk manusia menjadi insan kamil, berkarakter ilahi, yang sesuai dengan hakikat penciptaannya yakni serupa dan segambar dengan Allah, diperlukan pendidikan yang mampu membentuk karakter manusia.

There is no education but self education, kata CM. Pendidikan itu mandiri. Yang mampu membentuk karakter seseorang adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Oleh karena itu posisi orang tua atau guru dalam proses pendidikan hanyalah sebagai pembimbing, bukan perantara ataupun sebagai gudang ilmu. Guru yang terlalu banyak mengajar dengan berbagai cara yang menarik dan memukau akan membuat siswa sedikit belajar. Ibaratnya guru mengunyah makanan lalu melepehkannya ke mulut anak. Padahal anak itu punya gigi yang mampu untuk menyunyah makanannya sendiri.
CM memang menganalogikan jiwa anak sama seperti tubuh. Tubuh manusia telah dilengkapi dengan alat dan kemampuan cerna. Tinggal disajikan saja berbagai jenis makanan, maka biarkan si anak mengolah makanannya sendiri. Akal budi manusia juga begitu. Setiap manusia memiliki kemampuan berpikir sejak lahir. Yes! Sejak lahir. CM bilang; Children are born person. Anak adalah pribadi yang utuh. Jadi jangan remehkan kemampuan anak dalam berpikir, karena dia memiliki kemampuan berpikir yang baik. Yang tak dimiliki oleh anak adalah pengetahuan itu. Maka tugas orang tua atau guru adalah membimbing anak pada pengetahuan bukan mengunyahkan pengetahuan itu lalu menyuruh anak menelannya begitu saja. Proses mengunyah adalah tugas anak didik. Proses mengunyah inilah yang disebut sebagai narasi. Mengunyah pengetahuan agar masuk ke dalam akal budi.

Tujuan narasi

Tubuh akan bertumbuh dengan baik jika diberikan asupan yang bernutrisi. Pencernaan yang sehat akan rusak jika terus menerus dijejali oleh junk food. Demikian juga kemampuan berpikir anak akan rusak jika yang diberikan buku tak bermutu. Maka yang pertama dan yang utama agar narasi berjalan dengan baik adalah living book. Sediakanlah buku-buku terbaik, yang berisi ide-ide hidup, yang ditulis dengan cita rasa sastrawi oleh penulis yang berdedikasi di bidangnya.

Dalam metode pendidikan CM, setiap teknis pembelajaran bertujuan untuk membentuk karakter anak. Maka, narasi juga bertujuan untuk melatihkan kebiasaan baik pada anak.
Prinsip yang tak boleh ditawar dalam melakukan narasi adalah membaca hanya sekali saja. Tak ada siaran ulang. Tujuannya adalah agar anak terbiasa mengerahkan perhatiannya pada satu hal di satu waktu (Habit of Attention).

Banyak masalah yang terjadi pada manusia dewasa yang diakibatkan oleh ketidakmampuan mendengar dan berbicara. Si A bilang apa si B memahami apa, yang terjadi akhirnya kesalahpahaman. Kemampuan mendengar dan berbicara ini musti dilatih sejak awal dan narasi adalah proses yang tepat untuk melatihnya (Habit of Good Communication).

Ketika mendengar suatu cerita lalu anak diminta untuk menceritakan kembali pemahamannya maka kata demi kata yang keluar dari mulutnya adalah hasil berpikirnya. Jadi narasi juga melatih kemampuan berpikir anak (Habit of Thinking).

Jika narasi adalah proses belajar yang bertujuan untuk melatihkan kebiasaan-kebiasaan baik yakni fokus, berkomunikasi dan berpikir maka tak perlu ada interupsi dari pembimbing. Biarkan saja narasi itu terjadi apa adanya. Terkadang orangtua atau guru ingin memperbaiki atau membantu agar narasi terlihat baik. Memang narasi akan terlihat baik tapi tujuannya tak tercapai. Pembimbing sudah menggangu proses berpikir si anak. Tujuan narasi bukanlah narasi yang bagus tapi anak terlatih untuk fokus, berpikir dan menyampaikan hasil pemikirannya.

Ketika sulit untuk bernarasi

Narasi terlihat sangat sederhana tapi bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi bagi yang tak terbiasa. Nah, kemarin waktu mulai workshop di zoom aku dengar itu Mbak Ayu memanggil namaku untuk menarasikan apa saja yang kutahu tentang pendidikan ala Charlotte Mason. Seketika otakku memproses kalimat-kalimat apa yang mau kusampaikan. Asli aku bingung mau ngomong apa ditambah kebingungan kenapa suaraku gak didengar oleh Mbak Ayu. Hingga akhirnya kesempatan untuk bernarasi berpindah ke yang lain. Yes. Bagiku sendiri narasi itu bukanlah hal yang mudah. Lalu bagaimana membimbing anak-anak bernarasi?

Inilah yang kusuka dari filosofi pendidikan CM bahwa yang belajar bukan hanya anak-anak tapi juga orangtua. Education is an atmosphere. Aku sebagai orangtua musti terlebih dahulu menikmati proses narasi tersebut. Cerita yang kusampaikan musti kunikmati juga. Aku harus berelasi dengan kisah yang sedang kubaca. Karena suasana dalam diriku entah itu gembira, dongkol, sedih, optimis, ragu, bingung dst akan berimbas pada anak-anak. Ibarat udara yang kuhembuskan lalu dihirup oleh anak demikianlah perasaan dalam hatiku juga akan memancar dan berdampak pada anak-anak. Kalau aku menganggap bahwa narasi itu adalah beban berat maka anak-anak juga akan sulit untuk menikmati narasi.

Agar narasi tak menjadi beban berat, mulailah dengan sederhana dan singkat. Di awal-awal mungkin anak hanya akan menyampaikan dua kata, lalu satu kalimat, lalu lima kalimat demikian seterusnya. Tanpa interupsi, tanpa cermah, tanpa mencela. Aku membayangkan seperti fase anak-anakku merangkak, berdiri lalu berjalan. Kuingat-ingat tak terlalu banyak aku memberikan stimulus agar mereka cepat berjalan. Aku hanya mengamankan area rumah dari benda-benda berbahaya, lalu kubiarkan mereka mencoba sendiri. Tanpa ditatah-tatah, anak-anakku bisa jalan sendiri. Demikian juga dalam bernarasi, biarkan anak-anak berproses sendiri. Tugas orangtua hanyalah menyajikan hidangan ide secara konsisten dan biarkan anak-anak melahapnya. Memang diperlukan iman yang besar di masa-masa permulaan karena kemajuan yang terlihat mungkin sangat kecil. Iman bahwa anak-anak itu mampu berpikir, iman bahwa di dalam benaknya sedang terjadi proses “cerna” bermacam ide yang telah disajikan, iman bahwa dia sedang bertumbuh.

Fokus pada esensi bukan dekorasi

Sewaktu workshop ada pertanyaan yang masuk; bagaimana jika narasinya salah dalam menyebutkan fakta sejarah (misalnya tanggal peristiwa). Apakah boleh dikoreksi? Lalu Mbak Ayu balik bertanya mengapa belajar sejarah? Seberapa penting tanggal tsb? Jika saat ini ingat bukankah setahun lagi bisa lupa? Bukankah mengingat fakta tsb bisa digantikan oleh mesin.

Hal ini cukup lama berputar-putar di kepalaku. Betapa aku selama ini terlalu fokus pada hal-hal yang tak esensi, pada hal-hal yang sebenarnya hanya tempelan penyemarak semata, pada dekorasi penghias yang mudah ditempel copot dan diganti dengan yang lain. Yang utama dalam pendidikan adalah terbangunnya relasi antara anak dan pengetahuan. Bukan sekedar tahu fakta namun kosong makna.

Aku jadi teringat bagaimana aku dulu belajar sejarah. Pertemuan demi pertemuan diisi dengan lolohan kisah garing dari buku teks. Namun tak ada sedikitpun terjalin hubungan dengan patriotisme yang dimiliki oleh para pejuang kemerdekaan. Tak terpercik nasionalisme meskipun guru berkali-kali ceramah bahwa kita harus menghargai jasa para pahlawan. Yah, ketika ujian tentu aku bisa-bisa saja menjawabi soal-soal yang diberikan. Namun aku tak mendapat esensi belajar sejarah. Maka proses belajar yang melelahkan dan panjang itu tak menyisakan makna apa-apa dalam hidupku kecuali goresan angka di lembaran laporan.

Aku bersyukur mengenal metode pendidikan CM ini. Lebih bersyukur lagi betapa terbukanya akses untuk belajar. Betapa banyaknya orang-orang yang berdedikasi membagikan ilmunya sehingga aku yang saat ini sedang meraba-raba perlahan-lahan bisa melangkah, walau kadang ragu apa iya aku bisa, apa iya kami mampu membimbing anak-anak kami seperti yang Tuhan mau? Iman, ya hanya imanlah yang jadi pegangan dan tentu saja kesediaan untuk terus belajar.


Comments

Popular posts from this blog

Belajar Akademis ala Charlotte Mason