Belajar Akademis ala Charlotte Mason

Praktik Belajar ala CM 

Setelah dua minggu berturut-turut belajar fondasi pendidikan akademis Charlotte Mason yakni pendidikan mandiri dan kurikulum yang kaya (narasinya kubikin di tulisan yang ini dan ini), tibalah bagi kami untuk merasakan sendiri gimana sih belajar ala CM itu. Cekceknya kami jadi muridnya dan Mbak Ayu jadi gurunya.

Kelas dimulai dengan pembacaan puisi Yang Fana Adalah Waktu karya Sapardi Djoko Damono oleh Mbak Ayu. Lalu Mbak Ayu meminta salah seorang murid untuk membacakan lagi puisi yang sama. Puisi tak perlu dihafalkan, hanya diucapkan dengan penghayatan. Dalam satu term (triwulan) ditentukan satu tokoh yang karyanya akan dibacakan setiap hari belajar berulang-ulang.

Selanjutnya Mbak Ayu membacakan paragraf demi paragraf dari buku The Story Book of Science, lalu meminta kami bergantian menarasikan secara lisan setiap paragrafnya. Setiap kali kami selesai menarasikan, komentar Mbak Ayu hanya singkat seperti "Mantap", "Keren". Tak ada koreksi apakah narasinya benar atau salah.

Dari buku yang sama, Mbak Ayu selanjutnya meminta kami menyalin. Pertama-tama kami memperhatikan teks (1 paragraf). Lalu Mbak Ayu mendikte satu kalimat demi satu kalimat sedangkan kami mencatatnya. Setelah itu, kami sendiri memeriksa ketepatan teks yang kami tuliskan seperti kata-kata, ejaan, dan tanda baca. Walaupun kami semua rata-rata sudah lulus SD tapi ternyata kami melakukan banyak kesalahan. Haahaha.

Setelah melewati aktivitas mental yang melelahkan (nah, ternyata dalam menyalin ini dilatihkan kebiasaan mengingat dan memperhatikan), kami mendengarkan lagu daerah Rambadia (Batak Toba). Lagu daerah boleh dinyanyikan di sela-sela waktu belajar untuk menghidupkan semangat, atau di awal, boleh juga di akhir sesi belajar akademis. Satu lagu dinyanyikan berulang-ulang dalam kurun waktu 2 minggu atau hingga lagu tersebut akrab di telinga anak-anak. Teksnya juga sebaiknya dihafalkan agar semakin mengenal bahasa-bahasa daerah. Lagu daerah biasanya identik dengan tarian daerah, maka tarian ini pun bisa dipraktekan juga biar suasana semakin seru.

Berikutnya kami diajak untuk memperhatikan lukisan klasik karya Mary Cassatt selama 2 menit lalu menarasikan apa yang kami lihat secara eksplisit dam implisit. Sama halnya dengan puisi, lukisan yang dipelajari musti berasal dari satu maestro dalam satu term dan setiap pertemuan lukisannya berganti-ganti.

Pelajaran terakhir adalah hasta karya. Hasta karya yang diajarkan dalah paper sloyd. Kami diminta mengukur kertas sepanjang 6 inchi dan membentuk persegi, persegi ini lalu dilipat membentuk amplop. Ketika mengerjakan ini anak-anak dilatih keakuratan dalam mengukur dan memotong, selanjutnya akan meningkat dengan menggunakan material yang keras seperti cardboard dan setelah itu menggunakan kayu.

Total waktu belajar kami (dikurangi tanya jawab) kurang lebih satu setengah jam. Sebenarnya masih banyak subjek pelajaran dalam CM seperti Agama, Goegrafi, Matematika, Sejarah, Bahasa Asing, Musik, dll. Semua subjek ini tak musti dipelajari dalam satu kali pertemuan, ada yang setiap hari, per dua hari sekali bahkan sekali seminggu. Pengaturan ini disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak.

Bagiku praktek belajar seperti ini sangat membantu memberi gambaran belajar ala CM itu seperti apa. Kesan yang kudapat ketika belajar adalah ringan dan asyik. Tak ada ceramah, tak merasa mengejar atau dikejar sesuatu, yang ada hanyalah menikmati setiap materi yang disajikan (Duh, semoga anakku juga nanti merasakan hal yang sama).

Tentu saja mempraktekan ini ke anak tak semudah itu. Akan ada kendala disana-sini. Untuk itu perlu memahami prinsip-prinsip dalam belajar akademis ala CM, yakni;

Start Small

Pepatah Jawa "Alon-alon waton kelakon" sangat tepat untuk menggambarkan belajar ala CM ini. Kalau dalam Bahasa Inggris disebut gentle. Walau kemajuan teknologi membuat segala pekerjaan manusia menjadi praktis, namun dalam hal pembentukan karakter tak ada jalan pintas yang bisa dilalui. Tak ada cara instan agar anak punya empati, sabar, teliti, fokus, jujur, berdaya juang, dst. Semua karakter luhur tersebut harus diproses dengan pelan-pelan namun konsisten. Prinsip pelan-pelan namun konsisten ini bisa berjalan jika dimulai dengan porsi sesedikit mungkin, semampu orangtua dan anak. Seiring berjalannya waktu, porsi dan variasi ditingkatkan perlahan-lahan.

Less is More

Suatu proses terasa lambat seringkali karena kita membandingkan dengan perjalanan orang lain yang sudah berada di titik yang berbeda dengan kita. Anak si A misalnya di umur sekian sudah tamat buku anu, sedangkan anakku di umur yang sama masih juga buku ini. Nah, akan muncul rasa tidak puas dan galau tingat dewa. Kembali lagi pada filosofi CM bahwa anak adalah pribadi. Jadi setiap anak punya perjalanannya sendiri, tak perlu membanding-bandingkan dengan orang lain. Nikmati setiap proses yang sedang dijalani, syukuri setiap kemajuan yang dicapai dan selalu rendah hati untuk mengevaluasi setiap kekurangan.

Jadwal Belajar

Agar proses belajar akademis ini teratur maka wajib menyusun jadwal per term (3-4 bulan). Jadwal ini tentu saja untuk membantu kita dalam proses belajar bukan malah menyulitkan. Makanya dalam menyusun jadwal ini perlu terlebih dahulu mengukur kemampuan ortu dan anak. Ortunya bisa menyisihkan waktu berapa lama, anaknya bisa fokus berapa lama, misalnya. Lalu berikutnya, cek ketersediaan bahan belajar. Dalam CM, ujung tombaknya adalah living book. Ini sangat penting karena proses narasi akan terkendala jika bukunya tidak living. Anak akan lebih mudah menarasikan buku yang living ketimbang buku teks sekolahan. Jadi subjek pelajaran yang dijadwalkan tergantung pada ketersediaan buku-buku ini. Duh, betul-betul ya kalau mau homeschooling, konsep sekolahan harus dibuang jauh-jauh. Apalagi dengan metode CM ini. Kalau sekolah kan semua sudah tersedia di awal tahun ajaran. Nah, dalam HS ya sah-sah saja trial and error.

Konsisten

Kayaknya dalam semua bidang kehidupan ini, hasil akan terlihat jika kita konsisten. Demikian juga belajar ala CM yang lambat ini, jika dijalankan dengan konsisten ya akan terlihat hasilnya. Mau gak mau, setiap hari tubuh harus diberi makan, maka mau gak mau akal budi juga harus diberi makan lewat belajar akademis ini. Tidak boleh bolong-bolong. Makanya disarankan, usia paling cepat dalam memulai pelajaran akademis ini adalah 6 tahun bahkan lebih baik 7 tahun, lebih muda dari situ tidak boleh. Agar anak benar-benar siap menjalani rutinitas yang sudah ditetapkan baginya. Ibaratnya tubuh, sistem cernanya sudah siap mengolah makanan padat pada usia 1 tahun, demikianlah usia 6-7 tahun adalah saat yang tepat bagi akal budinya untuk mengunyah sajian-sajian padat gizi secara konsisten. Orangtua juga punya waktu yang cukup dalam mempersiapkan diri. Ketika pelajaran terstruktur sudah dimulai maka tak boleh asal-asalan.

Refleksi

Agar tak kehilangan makna dalam mengerjakan rutinitas belajar, refleksi wajib dilakukan. Refleksi harian, mingguan, bulanan atau per term. Tujuan utama belajar tentu bukanlah seberapa banyak yang anak tahu tapi seberapa erat relasi yang terjalin dengan berbagai pengetahuan yang telah dipelajarinya. Inilah yang perlu direfleksikan oleh ortu sebagai pendamping. Jalinan relasi ini bisa dilihat lewat isi narasi anak. Ketika membahas topik B, apakah dalam narasinya dia menghubungkan dengan topik A yang dipelajarinya kemarin? Adakah pertanyaan-pertanyaan yang muncul? Adakah mata yang berbinar-binar ketika dia membahas topik tertentu? Pada akhirnya, adakah kepedulian yang muncul dalam dirinya terhadap sesuatu? Jika ini sudah terlihat maka proses pendidikan sedang menunjukan hasil.

Empat minggu berturut-turut belajar Pendidikan Akademis ala CM bersama Mbak Ayu dan teman-teman yang lain, sungguh pengalaman, pengetahuan dan pemahaman ini semakin mengokohkan langkahku dalam mendidik anak dengan metode CM. Beribu-ribu syukur kepada Allah atas tersingkapnya selapis demi selapis hikmat dan bijaksana ini, semuanya berasal dari padaMu.


Comments

Popular posts from this blog