Bukit Lawang dan Berbagai Pikiran Acak Yang hadir

Bukit Lawang tidak jauh dari Medan. Kami menempuh perjalanan sekitar 3 jam melewati kota Binjai. Kondisi jalan lumayan oke. Ada beberapa bagian yang berlobang-lobang terutama di jalan lintas Aceh-Medan. 

Ini kali pertama kami ke Bukit Lawang. Kabar banjir bandang sekitar 17 tahun yang lalu membuatku agak takut kesana. Kejadian buruk memang begitu kuat melekat membentuk cerita mental seakan-akan tempat tersebut selalu dilanda banjir bandang, padahal kejadiannya hanya sekali dan itu sudah belasan tahun yang lalu. Mirip dengan kondisi sekarang. Berita terus menerus mengabarkan korban covid yang akhirnya membentuk cerita mental kalau kena covid bakalan meninggal. 




Cerita mental ini mengaburkan realitas yang sesungguhnya. Kesempatan yang tak terduga membuatku sampai juga di Bukit Lawang. Menyaksikan tempat ini, cerita mentalku otomatis berubah.  Hotel tempat kami menginap berada di seberang sungai, terhubung oleh jembatan gantung. Ketika melintas pemandangan sungai terbentang di bawah. Aliran air terdengar deras namun sayang bercampur dengan suara dangdutan dari speaker pengunjung yang memekakan telinga. Sebelum pandemi, mayoritas pengunjung tempat ini adalah turis mananegara. Masa itu, dangdutan sampai tengah malam tidak boleh terjadi karena bule-bule itu pasti akan mengomeli pengunjung yang joged-joged sampai tengah malam. Aku tidak se-jingar bule berani protes. Aku hanya ngomel-ngomel ke suami, ke teman tapi tidak ke yang bersangkutan. 



Air sungai mengalir jernih di antara batu-batu besar. Lokasi yang tidak berbatu dan airnya dangkal menjadi tempat berenang. Aku mencelupkan seluruh tubuhku ke air. Segar dan dingin. Angin sore bertiup sepoi-sepoi membuat dingin semakin menusuk. Aku menyerah. Aku tidak kuat berlama-lama main air. Tubuhku memang sangat sensitif terhadap dingin. 

Tabrakan aliran air ke batu-batu besar membuat arus semakin deras. Etha dan bapaknya beberapa kali berjalan memboyong ban karet ke atas melewati bebatuan besar demi ber-arung jeram ala-ala. Ini ekspresi senang si bocah yang selalu mau diajak bapaknya melakukan hal-hal yang ekstrim. 



Kami meningap di Ecolodge. Konon yang punya orang Swiss. Punya kepedulian terhadap lingkungan. Belakang hotel hutan karet yang luas dan setelah hutan karet adalah hutan lindung. Sesekali monyet jenis Thomas Leaf berkunjung. Kami beruntung di pagi hari sudah menerima kunjungannya. Beberapa buah pisang membuatnya betah bergantungan di jembatan. Ada cukup waktu untuk berfoto.

 


Di dalam satu seri NatGeo yang kami koleksi di rumah, ada liputan mengenai kondisi hutan di Kalimantan. Semakin lama hutan di sana berkurang beralih menjadi perkebunan sawit. Para pegiat lingkungan yang gencar mengkampanyekan konservasi orangutan akan dianggap dingin oleh penduduk setempat. Orangutan bagi mereka hanyalah hewan. Yang penting bagi penduduk setempat adalah pemasukan. Apa gunanya orangutan lestari tapi masyarakat miskin. 

Hutan lindung di Bukit Lawang ini juga masih didiami orangutan. Kami memasuki hutan dipandu oleh petugas. Masa pandemi ini dilakukan pembatasan. Kami hanya boleh sampai di pintu masuk hutan lindung demi menghindari penularan virus dari manusia ke orangutan. 






Petugas yang membawa kami mengatakan, orangutan bisa saja keluar jika dipanggil tapi bisa juga dia tidak datang. Lagi-lagi kami beruntung. Ada tiga ekor orangutan yang mendekat ke arah kami. Petugas sudah menyiapkan pisang di dalam tas mereka. Ingatan ada pisang inilah yang membuat orangutan mau keluar dari hutan ketika mendengar panggilan dari manusia. Tapi pengunjung tidak boleh memperlihatkan makanan dalam bentuk apa pun karena mereka akan mengejar dan merampas paksa. Petugas sudah cukup terlatih berhadapan dengan mereka. Masing-masing sudah punya nama dan petugas tentu saja mengenali siapa si anu dan siapa si ani. 

Ada satu aktivis lingkungan asal Prancis di Kalimantan. Aku suka mengikuti vlognya. Awalnya dia tertarik menekuni bidang ini karena menatap wajah dan memperhatikan tingkah polah owa di kebun binatang di dekat rumahnya. Dalam hatinya muncul iba dan berkomitmen mempersembahkan hidupnya demi kelestarian satwa. 

Pada saat itu ada banyak pengunjung yang mengerumuni orangutan ini. Tentu dikawal oleh petugas yang sudah berpengalaman. Entah perasaan apa saja yang muncul dalam benak sekian orang ketika berpapasan begitu dekat dengan satwa ini. Mungkin ada takut, senang, masa bodoh, atau sedih. Aku berpikir, apa jadinya manusia tanpa satwa ini dan teman-temannya. Apakah kehadiran mereka hanya sebatas memberi euforia "wah, aku sudah bertemu orangutan langsung dan foto di dekatnya?" Atau ada hubungan lain yang melampaui hitung-hitungan ekonomi seperti yang disampaikan penduduk di Kalimantan tersebut?

Aku baru saja menyelesaikan novel Yann Martel, The High Mountain of Portugal. Yann Martel juga penulis Life of Pie. Aku belum membaca yang ini tapi sudah menonton filmnya. Kisahnya sama-sama berkonsep hubungan manusia dan hewan. Di novel The High Mountain of Portugal, hadir Simpanse yang mengubah jalan hidup 3 tokoh dari tiga generasi. 



Masa kecilku tidak terlalu dekat dengan hewan kecuali atas dasar ekonomi (kami memelihara babi dan ayam). Beda dengan Bapak Etha yang pernah punya relasi emosional dengan anjing. Sekarang kami memelihara kucing liar walau bukan memelihara dalam arti sungguh-sungguh. Ini sebagai usaha menjalin relasi dengan hewan. Dalam rangka menghidupi sedikit demi sedikit pemahaman bahwa semua makhluk semestinya berhak untuk hidup layak. 

Kami juga melakukan perjalanan singkat memasuki rumah makhluk nocturnal : kelelawar. Betul-betul gua yang tidak dimasuki cahaya. Design alam begitu hebatnya bisa mengakomodir kebutuhan makhluk yang hidup di dalamnya. Gua menjadi tempat yang nyaman bagi para kelelewar tidur di siang hari. Tenang dan sepi. 

Kami juga sudah lama menerapkan tidur di dalam kegelapan. Hanya ada sedikit berkas cahaya dari lampu di luar kamar. Tidak bisa setenang di gua kelelawar karena masih ada suara mesin AC. Cahaya memang menolong banyak pekerjaan manusia tapi cahaya juga telah banyak mengacaukan kodrat manusia. Konon, produksi hormon melantonin - yang membuat tidur lelap - tinggi ketika kondisi ruangan gelap. Tidur yang lelap akan membantu tubuh meregenerasi sel-sel yang rusak. 

Tentu kami tidak ingin tinggal di gua bersama para kelelawar demi suasana tidur yang gelap dan sepi. Kami tetap pulang ke rumah membawa banyak kenangan petualangan yang ingin kami ulang lagi kapan-kapan. 

Sepertinya benar bahwa terhubung dengan alam membuat kita bahagia. Kami senang walaupun tubuh letih. 

Bukit Lawang, 12-14 Maret 2021



Comments

Popular posts from this blog

Belajar Akademis ala Charlotte Mason