Kenyang Tapi Kerdil, Trus Kita Harus Bagaimana?

Sekarang ini informasi bukanlah hal yang langka. Setiap detik kita dibanjiri informasi dari berbagai media. Bermacam-macam jenisnya. Ada yang memang secara sadar kita pilih dan ada juga hadir secara acak sesuai algoritma aplikasi yang kita pakai. 

Malah di masa pandemi ini arus informasi rasanya semakin kencang. Di satu sisi bermacam layanan hadir dalam bentuk online sehingga bisa diakses dengan mudah. Di sisi lain, pandemi membuat kita banyak mengalokasikan waktu mengakses internet. 


Aku teringat pada kisah masa lalu yang diceritakan dalam novel-novel Laura Ingalls Wilder. Masa itu berlangsung lebih dari seratus tahun yang lalu. Informasi beredar sebatas lewat surat kabar yang diantar dari rumah ke rumah. Saling berkabar antar teman harus bikin surat dulu yang butuh berhari-hari baru tiba. Mau dengar khotbah pendeta musti menunggu hari Minggu, itupun hanya sekali ibadah. 

Saat ini dalam hitungan detik kita sudah bisa saling memberi kabar, bercakap-cakap bahkan ketawa-ketawa saling menatap wajah meski terpisah antar benua. Dalam sekejap kita bisa dapat tutorial cara memasak ayam panggang rosemary, cara menanam anggur hingga cara mencari volume kubus dan berjuta informasi lainnya. Ada banyak tersedia pengetahuan dalam bentuk blog, podcast, video yang mengulas masalah parenting, kesehatan, budaya, politik, filsafat hingga agama. Kalau mau baca buku pun, dengan mudah kita bisa membeli di market place dengan harga yang sangat-sangat terjangkau. 

Jika kita mundur lagi ke belakang, ketika bangsa Indonesia baru terbentuk, persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini adalah bahan pangan sangat mahal demikian juga akses terhadap pendidikan sangat sulit. Bahan pangan adalah makanan bagi tubuh sedangkan pendidikan adalah makanan bagi jiwa. Keduanya tidak bisa diperoleh dengan mudah. Dalam buku Tandus yang berisi kumpulan sajak-sajak dan kisah-kisah yang dituliskan oleh S.  Rukiah digambarkan kesulitan yang dihadapi masyarakat di awal-awal kemerdekaan. Harga kebutuhan pokok sangat mahal, ladang-ladang yang biasa ditanam bahan pangan malah dipaksa oleh kolonial agar ditanami jarak, anak-anak kadang sekolah kadang tidak karena kondisi keamanan sangat tidak stabil. 

Situasi terus berganti hingga ke zaman ini. Persoalan pangan dan pendidikan memang masih banyak tapi dibandingkan masa lalu kita tidak lagi kesulitan mengakses makanan dan pendidikan. Perut kita dengan mudah bisa kenyang dan seperti yang sudah kujelaskan di atas, otak kita juga penuh dengan informasi. 

Satu persoalan teratasi muncul persoalan lain. Sama seperti makanan yang berlimpah justru mendatangkan banyak penyakit, informasi yang melimpah justru melahirkan orang-orang yang tahu banyak tapi miskin dampak.   

Contohnya begini: sehari-hari kita banyak mendengar informasi pemanasan global tapi apakah informasi ini membuat kita mau melakukan sesuatu yang berdampak pada kebaikan lingkungan hidup sesederhana membuang sampah pada tempatnya? Kita tahu tapi kita tidak melakukan sesuatu. 

Bercermin pada pengalamanku sendiri memang tidak mudah untuk berubah. Telinga memang cepat mendengar, pikiran lekas tahu, tapi hati belum tentu tergerak apalagi memaksa diri untuk melakukan langkah konkret dengan konsisten. Sedangkan perubahan baru bisa terjadi jika kita melakukan sesuatu bukan hanya sekadar tahu segala sesuatu. 

Di website cmindonesia.com ada satu artikel dari 10 artikel ditulis oleh Mbak Ellen Kristi yang disarikan dari buku Endanger Minds karya psikolog pendidikan Jean Healy. Disebutkan di artikel tersebut kemampuan menyuruh diri sendiri untuk melakukan apa yang benar ini terkait pada berkembangtidaknya otak depan. Otak depanlah sebagai pemimpin yang mengatur, mengelola berbagai informasi yang masuk ke otak. Seseorang yang otak dewasanya matang akan mampu mengelola berbagai macam informasi menjadi sesuatu yang bisa mentransformasi dirinya. Dia akan semakin mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang benar sesuai kata nuraninya dan mampu menyuruh dirinya sendiri melakukan kebenaran tersebut. 

Sayangnya, di era modern ini anak-anak tidak terlalu mendapatkan dukungan agar otak depannya berkembang dengan baik. Dukungan paling utama seharusnya diperoleh dari orangtua, yakni lewat percakapan sehari-hari yang mumpuni baik secara kualitas maupun kuantitas. Kecakapan dalam mengelola informasi ini sangat terkait dengan kemampuan verbal (berkata-kata). Lewat kata-katalah kita berpikir. Jika sejak kecil anak diajak berdialog, diberi ruang untuk berargumen maka fondasi berpikir akan terbangun. 

Mendengarkan anak ngoceh, meladeni pertanyaannya yang aneh-aneh, menanyakan pendapatnya alih-alih mendikte harus begini begitu memang bukan hal yang mudah dikerjakan. Tapi ketimbang anak-anak kita kelak ikut hanyut dalam terjangan informasi dan tidak tahu harus bergerak kemana, kan. Ya..ya..ini jadi pengingat bagi diriku sendiri. 




Comments

Popular posts from this blog

Belajar Akademis ala Charlotte Mason