Haruskah Belajar Lama-lama Biar Pintar?

Yang kupahami dulu, agar menjadi pintar itu ya mesti banyak-banyak belajar. Itu juga lah yang dipahami guru-guruku sepertinya. Makanya setiap hari pasti ada PR. Terutama pelajaran yang butuh latihan berulang-ulang supaya paham seperti matematika, fisika & kimia. Kalau besoknya ada ketiga pelajaran tersebut, pastilah aku begadang.

Udahlah belajar dari pagi sampai siang, les lagi dari siang sampai sore lalu malamnya mengerjakan PR. Waktu habis hanya berkutat di pelajaran sekolah.

Charlotte Mason (CM) mengusung suatu metode pendidikan yang berbeda. Bukan sekadar teori, metode ini sudah dipraktikkan berpuluh tahun dan berhasil mengangkat anak-anak dari kelas bawah menjadi kaum intelek yang berbudi luhur.

Keberhasilannya tidak terletak pada durasi belajar anak yang panjang, bukan juga pada kehebatan guru-guru ber-IQ tinggi, kharismatik atau menyenangkan. Tidak! 

Lalu apa rahasia keberhasilan metode ini?

CM seorang guru dengan masa kecil berteman dengan buku. Dia senang mengamati anak-anak lalu berefleksi dan merancang pendekatan seperti apa yang tepat bagi anak-anak didiknya.

Suatu waktu dia menginap di rumah temannya. Di situ ada anak 5 tahun berdarah separuh India (pada saat itu India adalah jajahan Inggris) yang diasuh oleh kakeknya dan juga teman CM ini. Dia melihat anak ini pulang dari suatu tempat dalam kondisi sedih. Lalu tangisnya meledak sambil menceritakan apa yang baru dilihatnya. Dia kasihan melihat bapak-bapak yang kelaparan, tidak punya rumah dan kasur.

Muncul kesadaran dalam diri CM bahwa anak-anak itu adalah pribadi utuh. Walaupun masih kecil, anak sudah punya kepekaan moral. Dalam hal ini budi anak sedang bekerja. Namun di sisi lain, ketika diajari hal-hal yang bersifat abstrak seperti tata bahasa anak ini sulit paham. Dalam hal ini budi anak menolak. CM berkesimpulan bahwa budi anak mampu menerima atau menolak pengetahuan sesuai dengan kebutuhannya.

CM lanjut menjelaskan bahwa pengetahuan yang dibutuhkan anak bersifat spiritual karena budi anak juga bersifat spiritual. Pemikiran-pemikiran besar yang pernah ada di muka bumi ini jika bertemu dengan pemikiran mereka maka akan menghasilkan pemikiran baru yang diproduksi sendiri oleh anak.

Pengetahuan yang sudah disarikan dalam bentuk poin-poin, ceramah bertele-tele tidak bisa anak terima (terlihat dari rasa bosan dan tidak ada antusiasme).

Maka biarkanlah anak-anak menikmati sajian makanan yang berasal dari buku-buku terbaik yang berisi peristiwa dan gagasan agung yang pernah ada sebanyak-banyaknya. Karena, menurut CM, rasa ingin tahu manusia tidak akan bisa dipuaskan. Dia akan selalu haus akan pengetahuan kecuali jika akal budinya sudah tumpul.

Ketumpulan ini disebabkan cara-cara kita mendidik. Setiap anak dikarunia hasrat akan pengetahuan yang kita sebut sebagai rasa ingin tahu. Pengetahuan yang disajikan dengan tepat akan terus menggugah rasa ingin tahu ini. Akan tetapi adanya penghargaan, nilai, peringkat justru membuat rasa ingin tahu ini lama-lama akan redup. Anak-anak belajar tidak lagi demi pengetahuan itu sendiri melainkan demi mendapat pujian, lalu muncullah kesombongan dan puas diri bagi yang bisa meraihnya dan rasa kecil hati bagi yang tidak mampu mendapat pujian atau berada di peringkat teratas.

Bukankah ini yang terjadi di sekolah-sekolah kita?

Atas dasar inilah CM merumuskan kurikulum pendidikannya murni hanya menyajikan pengetahuan itu sendiri. Biarlah anak puas oleh makanan itu sendiri bukannya makan karena diimingi hadiah ini itu.

Selanjutnya ada argumen yang mengatakan; Bukankah di sekolah-sekolah juga tersedia pengetahun seperti yang dimaksudkan CM. Sekolah pada umumnya punya perpustakaan. Apakah tidak cukup jika anak-anak itu membaca sekian buku dalam setahun?

Yang dimaksud CM membaca buku bukanlah hanya sekadar menyelesaikan bacaan. Tanpa ada upaya aktif dalam mencerna buku tersebut maka bacaan itu hanya akan berlalu begitu saja. Buku-buku itu juga harus yang punya cita rasa sastrawai agar daya perhatian anak bisa terserap ketika membacanya. Kuncinya ada di sini. Agar dapat memahami bacaan, maka perhatian anak harus maksimal. Agar perhatian maksimal, bukunya tidak boleh garing. Buku haruslah enak dibaca. Buku yang enak dibaca adalah buku yang bercita rasa sastra.

Dengan buku-buku bercita rasa sastrawi yang dipelajari dengan daya perhatian penuh maka tidak diperlukan jam belajar yang panjang. Pelajaran cukuplah disajikan pada pagi hari sehingga pada siang hingga sore dan malam hari anak-anak bisa mengisi waktu luangnya dengan melakukan berbagai hobi yang akan menumbuhkan pribadinya.


Tulisan ini adalah narasi dari diskusi buku CM - Volume 6 Suatu Filosofi Pendidikan Sesi ke 3 bersama teman-teman CMid pada Jumat, 5 November 2021. 

Comments

Popular posts from this blog

Belajar Akademis ala Charlotte Mason