Perjalanan ke Tiga Ras, Parbaba, Sibea-bea dan Silimalombu

Saat ini aku sedang menantikan kelahiran anak ketiga. Badan sudah terasa berat, mudah merasa lelah, sesekali kecemasan datang menghampiri. Ingin si bayi lekas-lekas keluar agar segera lepas dari ketidaknyamanan ini meskipun ketidaknyamanan lain sudah menunggu. 

Aku jelas mengatakan bahwa hamil, melahirkan dan mengurus bayi adalah proses yang tidak nyaman. Aku tidak mau membohongi diriku dengan mengatakan bahwa itu semua nyaman dan kunikmati. 

Lalu kenapa mau hamil kalau begitu, toh itu kan pilihanmu? 

Ya. Aku memilih jalan ketidaknyaman agar bertumbuh karena pertumbuhan hanya dihasilkan dari kesulitan. 

Kesulitan yang sedang kuhadapi saat ini adalah berdamai dengan kondisi fisik dan mental dan berusaha menjaga agar fisik dan mentalku tetap sehat. Dan bersyukur aku masih bisa bertahan hingga hari ini. Ya. Hari ini aku merasa segar setelah berkebun selama satu jam, jalan kaki dua puluh menit hingga berkeringat, lalu mandi. Pikiranku juga bisa diajak kerja sama untuk menulis setelah sekian lamanya menuliskan satu kalimatpun sulit. Jadi mumpung semangat menulis lagi ada, aku mau menuliskan liburan ke Danau Toba tahun lalu. 

Perjalanan ini kami lakukan bulan April 2022, satu bulan sebelum aku hamil anak ketiga. Perjalanan kami mulai melewati Tiga Ras. Ini pertama kali kami menikmati Danau Toba dari Tiga Ras. 


di Bukit Indah Simarjarunjung


di Bukit Indah Simarjarunjung


di Bukit Indah Simarjarunjung


di Bukit Indah Simarjarunjung


di Bukit Indah Simarjarunjung


di Penginapan di Tiga Ras (Dio Refael Hotel)

Kami menginap satu malam di Dio Refael Hotel. Entah karena terdampak Covid atau memang sepi, hanya kami yang menginap di hotel itu. Berada persis di tepi danau tapi tidak ada akses langsung ke danau. Beruntung hotel ini ada kolam renang jadi anak-anak tetap bisa main air walau hanya sebentar karena dingin. Anak-anak senang di sini karena ada banyak tangga, ada tv juga di kamar. Ya iyalah betah. Hahahha. 

Tadinya kami tidak tahu kalau Bukit Indah Simarjarunjung ada di dekat daerah ini. Kami hanya pergi keluar mencari tempat foto yang latarnya bagus. Ternyata kami sampai ke BIS. Oh ini ya tempat yang sering muncul di medsos. 

Di atas bukit dibuat tempat-tempat menarik seperti balon udara, sepeda besar, kingkong raksasa dll sebagai tempat berfoto. Kita perlu membayar untuk setiap tempat yang kita pakai tapi ada juga tempat yang gratis. Setiap objek berlatar danau. Anak-anak paling senang naik ke kingkong raksasa. Mereka cukup lama di sini dan mau-mau saja diarahkan bapaknya untuk berpose. 


Kingkong di BIS

Duh, masih terasa kesejukan dan keindahan tempat ini. Duduk-duduk sambil makan pisang goreng. Pisang gorengnya enak, kami sampai beli lagi. Aku mengajukan permintaan ke penjual agar minuman hangat yang kupesan disajikan di gelas kaca. Tapi mereka tidak mau meladeni dengan alasan penggunaan gelas instan adalah peraturan dari pemerintah terkait covid. Aku kecewa sebetulnya, minuman hangat disajikan di gelas plastik tapi ya tidak ada pilihan lain. 

Oh iya, kami mendapat pemandangan sore pas sore di hotel Dio Refael. Suami teriak memanggil kami keluar, ternyata di kejauhan terlihat tornado. Terlihat kecil memang tapi anak-anak bisa melihat air danau naik menggulung terbawa angin. Sampai sekarang Abe masih ingat pemandangan itu. 

Dari Tiga Ras kami naik feri ke Samosir. Pelabuhan feri persis di sebelah hotel jadi kami setiap saat bisa melihat kapal hilir mudik. Kapal feri di sini kecil dibanding dengan yang di Parapat. Jadi dari segi kemewahan jauh lah ya. Tapi tidak apa toh hanya sebentar saja. 

Hanya hotel di Tiga Ras yang kami pesan dulu, penginapan selanjutnya kami cari on the spot saja. jadi begitu sampai di Samosir kami mencari hotel yang sesuai dengan selera kami. Sebetulnya kami punya kesan yang baik di hotel Saulina tapi hotel itu jauh dari pantai sedangkan kami bermaksud berlama-lama bermain di danau. 

Pilihan jatuh pada Dermaga hotel yang berada persis di tepi danau, kami tinggal jalan sedikit sudah tiba di pantai berpasir.  Harga hotel-hotel di kawasan pantai di Samosir ini menurutku kemahalan dibandingkan dnegan fasilitas dan layanan yang disediakan. 


Berenang di Parbaba


Berenang di Parbaba


Parbaba di pagi hari


Parbaba

Kami merasa satu malam saja di tempat ini sudah cukup. Anak-anak sudah cukup lama bermain air walaupun memang tidak akan membosankan bagi mereka. Kami juga merasa perlu berganti hotel dan pilihan selanjutnya jatuh pada Saulina. Sebelum ke Saulina kami mampir ke Bukit Sibea-bea. Spot ini lagi populer saat itu. Kami tidak hanya sekadar berfoto di situ tapi juga mencari informasi Bukit Sibea-sibea itu proyek siapa. Ternyata itu adalah tanah adat yang diberdayakan sebagai tempat wisata dan dikelola oleh yayasan bikinan warga setempat yang dipimpin oleh menantu LBP. 


Salib raksasa dalam proses pembangunan


Patung Yesus sudah selesai


Jalan berkelok menuju tepi danau


Tepi danau ujung jalan berkelok



Perjalanan ke Sibea-bea ini searah ke air terjun efrata dan bukit holbung. Beberapa tahun yang lalu kami sudah pernah melintasi area ini dan belum banyak rumah makan. Sekarang sudah ramai dan jalan juga semakin bagus. Kami menjatuhkan pilihan ke tempat makan yang areanya luas. Sambil menunggu pesanan datang, kami menjelajah. Ada pohon besar yang usianya mungkin sudah ratusan tahun. Akar-akarnya menjuntai, besarnya sudah hampir sebesar batang pohon itu sendiri. Entah pohon apa itu namanya. Di bawah pohon ini mengalir sungai yang jernih. Di bawah ada kolam ikan yang airnya berasal dari aliran sungai ini. 


Pohon besar di rumah makan (namanya lupa)


Dari Saulina kami lanjut ke Silimalombu. Silimalombu masih di Samosir tapi ke arah Tuktuk. Pak Etha sudah meniatkan untuk bersepeda di Samosir. Niat ini dieksekusi pas perjalanan dari Dermaga hotel ke Silimalombu. Dia naik sepeda, aku yang menyetir mengikuti pelan-pelan dari belakang. Huh, kebayang kan capeknya tapi bagi dia itu adalah sebuah pencapaian dan merasa puas karena berhasil bersepeda di Samosir. Di perjalanan kami melihat museum Huta Bolon dan memutuskan untuk mampir. Ternyata di belakang museum ini ada rumah kaca milik Raja Humpul Pane Sidauruk.

Disebut rumah kaca mungkin karena ada banyak jendela kaca. Ini adalah desain kolonial. Yang tinggal di rumah besar dengan jendela kaca zaman dulu pastilah orang penting. Apalagi rumahnya besar dan halamannya luas. Dari ruang makan rumah ini kita bisa memandang danau toba di kejauhan. Di sini ada buku-buku dan album foto keluarga yang bisa kita lihat. Sayangnya tidak ada penjelasan mengenai siapa pemilik rumah ini. Informasinya hanya lewat foto. Barang-barang yang mereka pakai juga ada dipamerkan seperti organ, piring-piring, pemanggang roti, kasur, dan luksian. Sambil duduk hayalan bsia terlempar ke zaman dulu membayangkan diri tinggal di rumah yang asri dan menyenangkan ini. 

 

Rumah batak di Museum Huta Bolon


Rumah kaca keluarga 


Ada wig untuk foto-foto



Organ tua


Aneka perabot


Akhirnya sampai di Silimalombu. Kami menginap dua malam di sini. Anak-anak puas main di danau. Pak Etha puas ngobrol sama Kak Ratna, aku puas makan. Wkwkwkwk. Makanan di sini enak-enak. jadi menginap di Silimalombu ini bukan seperti menginap di hotel ya. Kita seperti datang ke rumah keluarga. Kamarnya sederhana tapi bersih. Mereka menyediakan makanan yang bisa kita nikmati kapan saja. Ada pizza, cinammon roll, burger, macam-macam salad, pisang goreng, ikan jahir goreng hampir selalu ada. Di sini kita nggak bakalan kelaparan. Mie bikinan sendiri juga enak. 

Kak Ratna mendedikasikan hidupnya untuk tinggal di kampung demi melestarikan warisan leluhurnya yakni tanaman mangga yang sudah berusia ratusan tahun. Fokus Kak Ratna adalah bertani, beliau dengan bangga menyebut dirinya sebagai petani dan menampilkan dirinya apa adanya di hadapan para tamu. Jadi kak Ratna menjamu tamu dengan sarung masih menutup kepala. Tamu yang menginap memang hanya kami tapi tamu yang datang untuk bersantap dan membeli wine mangga datang silih berganti hingga malam. 


Kebun Mangga 


Air terjun Situmurun


Suasana di Silimalombu Ecovillage


Ada pisang raksasa

 
Bersama Thomas dan Kak Ratna

Berwisata ke danau toba memang nggak ada habisnya apalagi sekarang perkembangannya sangat pesat. Pemerintah sedang mengupayakan pertumbuhan ekonomi lewat wisata. Ada banyak homestay dikembangkan. Bahkan ketika kami menginap di Saulina, sedang berlangsung pelatihan kepada para tuan rumah homestay. Aku membayangkan memang akan menarik jika bermunculan homestay seperti yang dikelola oleh Kak Ratna ini. Sederhana tapi menghadirkan keunikan tempat tersebut. Kak Ratna dengan pohon mangga yang sudah berusia ratusan tahun yang diolah menjadi wine, cuka dan selai. Pohon mangga memang banyak sekali tumbuh di kawasan Samosir dan di tangan Kak Ratna mangga ini jadi produk yang unik dan dicari banyak orang. 



Comments

Popular posts from this blog

Belajar Akademis ala Charlotte Mason