Berada Di Titik Nol Sabang

Anak-anakku sudah sangat akrab dengan lagu Dari Sabang Sampai Merauke. Lagu ciptaan R. Suharjo ini memberi gambaran singkat Indonesia itu seperti apa. Anak-anak jadi terpantik membuka atlas, mencari di mana Sabang dan di mana Merauke. 

Semasa sekolah aku merasa Sabang itu sebuah tempat yang jauh, tempat yang hanya kuketahui lewat lagu dan peta. Tidak punya bayangan tempat seperti apa itu. Kemudian berbagai informasi dengan tidak sengaja terbaca mengenai Sabang. Di situ ada tugu nol kilometer sebagai penanda ujung paling barat Indonesia. Di situ juga ada pantai yang indah dan jernih. Saking jernihnya kita bisa melihat ikan-ikan berenang di dalamnya. 


Kami ingin ke sana tapi bayanganku tempat itu hanya dapat dijangkau dengan pesawat. Kami pun merencanakan perjalanan via udara. Tapi setelah mengecek harga tiket, ternyata lumayan juga harganya untuk lima orang. 


Kenapa tidak lewat darat saja? Begitulah kami kemudian memutuskan ke Sabang menggunakan mobil. Memang kami sudah sering melihat bis-bis ke Banda Aceh seperti Pelangi, Sempati di seputaran ringroad Medan. Terlihat nyaman dan aman. Tapi kami berlima dan satu masih bayi, bagaimana kalau B rewel di bis. Kalau naik mobil sendiri bisa berhenti kapan saja. 


Perjalanan kami mulai hari Kamis 13 Juli 2023, berangkat dari rumah pukul 6.30 pagi. Berhenti sebentar sarapan di Stabat begitu keluar dari tol. Begitu memasuki wilayah Aceh kami berdecak kagum melihat kualitas jalannya, lebar dan mulus. Memang tidak semuanya tapi bisa dibilang hampir 95% jalan yang kami lewati lebar dam mulus juga lurus kecuali di daerah Sigli ada banyak belokan dan tanjakan. Kami melewati Sigli sudah malam jadi perjalanan agak mendebarkan. Kami sampai di Banda Aceh pukul 10.30. Butuh 16 jam karena kami berhenti 3 kali; pagi di Stabat, siang di Idi dan sore (lupa nama tempatnya tapi sepertinya sebelum Bireuen). Dari Sigli ke Banda sudah ada tol dan rencananya tol tersebut akan terhubung dalam Trans Sumatera. Kalau itu terwujud jarak tempuh Medan-Aceh semakin singkat.


Ini adalah perjalanan terjauh kami. A sempat mengeluh mual, E berhasil melewati perjalanan ini dengan baik. Sepanjang jalan dia selalu punya cara untuk mengusir kebosanan. Dia mengajak A memperhatikan rambu-rambu lalu-lintas kemudian bertepuk tangan setiap kali melewatinya. Malam sebelumnya A memang membahas rambu-rambu lalu lintas yang dia lihat di atlas, jadi perjalanan ini menjadi kesempatan untuk melihatnya langsung. B cukup tenang, hanya pas mau tidur dia rewel. Perjalanan kami menjadi ramai karena B, saat dia mulai rewel kami serentak berusaha menenangkannya dengan berbagai cara. Hahaha. 


Malamnya kami menginap di Banda Aceh. Kami memilih hotel yang tidak jauh dari pelabuhan Ulee Lheue biar paginya kami bisa mengejar penyebrangan pertama. Ternyata perkiraan kami meleset. Kami tiba Jam 7.00 tapi antrian sudah penuh untuk penyebrangan jam 8.00. Jadwal berikutnya adalah jam 14.00 berhubung hari itu Jumat. Oh, kami tidak mengantisipasi hal ini. Kami harus menunggu di pelabuhan dari jam 7.00 hingga jam 14.00.


Syukurlah ada tempat bermain outdoor. Sebenarnya tempat ini tidak terbuka untuk umum tapi pengelolanya berbaik hati memberi kami ijin masuk dan duduk di pondoknya, E dan A bebas bermain di taman yang terawat dengan baik.  Belas kasihan orang memang lebih mudah timbul kalau melihat ada ibu-ibu membawa bayi. Hahaha


Kami pun meninggalkan tempat itu karena sudah merasa haus. Setelah membeli air minum kami masuk ke ruang tunggu pelabuhan. Ternyata ruang tunggunya ber-AC dan dilengkapi wifi. Tapi ruangannya sepi, orang-orang lebih memilih menunggu di luar. Sampai tiba jam keberangkatan kami berada di ruangan itu. Anak-anak sempat nonton dan aku mebaca, Pak Etha tidur. Oh, pembangunan yang sungguh kami nikmati dan syukuri. 


Aku sudah pernah naik ferry di Danau Toba. Jadi aku sudah punya banyangan akan seperti apa. Ternyata berbeda. Goncangannya sangat terasa sampai membuat mual. Aku mencoba berjalan di atas kapal tapi hampir tumbang kalau tidak pegangan. Aku heran melihat orang lain kenapa bisa santai saja berjalan. Syukurlah Pak Etha melihat ada ruang laktasi. Aku masuk ke dalam. Di situ sudah ada seorang ibu dan anaknya yang sedang menyusui. Dia menawarkan aku berbaring di sofa yang tadinya dia pakai. Mualku lumayan reda dan B mau menyusu dengan posisi tiduran. Kutanya ke Ibu tersebut apa ini pertama kalinya dia ke Sabang, ternyata sudah kedua kali dan dia sebelumnya tinggal di Pulau Simelue yang butuh 12 jam naik kapal dengan goncangan yang lebih parah. Ampun!


Begitu keluar dari kapal aku merasa seperti terlepas dari beban berat. Oh, dua jam serasa setengah hari. Kami langsung menuju hotel yang telah kami pesan sebelumnya. Kami lagi-lagi terkagum-kagum melihat kualitas jalannya. Meskipun menanjak tetap nyaman karena lebar dan mulus.



Santai kek di pantai eh memang di pantai...


Begitu sampai langsung nyemplung

Selagi Pak Etha berurusan dengan administrasi kamar aku dan anak-anak melihat ke arah belakang penginapan. Persis di belakang penginapan adalah semak belukar dengan banyak pohon kelapa menjulang tinggi. Di balik semak itu terlihat laut berwarna biru toska. Tak sabar, kami pun bergegas turun menuruni tangga batu kecil dan curam. Tadinya kami turun mau makan di restoran terdekat, tapi begitu melihat air anak-anak tidak sabar. Ya sudah, mereka main ombak tanpa berganti pakaian renang dan saat itu sudah hampir pukul 6 sore. Aku memasan makanan di Freddies. Restoran dan penginapan ini yang paling populer di Sumur Tiga. Memang arsitekturnya keren. Bangunannya terbuat dari kayu yang tersusun sedemikian rupa di lereng bukit. Makanannya juga lengkap, tentu saja menu olahan seafood yang paling banyak. Oh, iya harga makanan di Sabang tidak terlalu mengejutkan menurutku, malah makan di restoran di Medan lebih mahal. Harga air mineral pun biasa saja. Anak-anak bermain air sampai jam 7 malam karena suasana masih terang. 




Semoga mereka tetap kompak



Sunrise di Sumur Tiga


Sinar matahari di Sabang sangat menyengat.Selama kami di sana hanya hujan geremis turun sebentar. Meskipun panas kami tetap turun ke pantai. Ngapain jau-jauh ke Sabang kalau hanya mendekam di kamar, kan. Syukurlah ada sebuah pohon besar rindang yang menjorok ke pantai. Kami menggelar tikar di situ. Anak-anak langsung bermain pasir dan berburu kelomang. Oh, kelomang selama ini hanya dikenal lewat buku eh sempat ding A melihat kelomang waktu temannya Y membawa pulang kelomang yang dijual di dekat sekolahnya. Di sini A puas melihat dan memegang kelomang. Begitulah kami menghabiskan waktu sepanjang pagi ke siang, aku dan B tiduran di bahwa pohon di tepi pantai sedangkan Pak Etha dan anak-anak bermain air dan pasir. Itupun belum cukup. Sorenya setelah istirahat kami kembali lagi ke pantai. Aku mencoba berenang tapi kurang nyaman karena ombaknya cukup besar. 




Foto keluarga yang belum mandi



Smileeee :)

Hari minggunya kami pergi ke Tugu Kilometer Nol. Tugu ini searah dengan Pantai Iboih, tempat snorkeling dan diving. Jadi kami sekalian pindah hotel. Jalan menuju Tugu Kilometer Nol naik turun dan sempit. Begitu keluar dari mobil angin kencang menerpa dan pemandangan laut lepas dengan ombak menderu-deru ada di depan mata. Aku bertanya ke pedagang gorengan di situ apakah anginnya selalu begini. Ternyata angin saat itu belum disebut kencang. Hah! Jadi yang kencang bagaimana lagi?


Berdiri persisi di titik paling ujung Indonesia dan berhadapan dengan lautan membuat perasaanku campur aduk. Ada rasa bangga bisa sampai ke titik ini, ada rasa takut juga melihat laut yang begitu luas. Terlihat seperti tidak ada kehidupan di sana tapi di bawahnya pastilah bermacam makhluk hidup bergerak dan berkembang biak menopang kehidupan di bumi ini. Ada rasa empati juga muncul betapa mencari nafkah di tempat seperti ini tentulah tidak mudah. 



Di bawah naungan sinar matahari yang menyengat


Iboih sangat berbeda dengan Sumur Tiga. Iboih memang khusus untuk wisata saja, jalannya sempit, orang-orang lokal yang ada di situ memang untuk berdagang makanan, membuka penginapan dan menyewakan peralatan dan jasa snorkeling juga diving, pantainya sempit, itupun sudah dipenuhi dengan sampan. Sedangkan di Sumur Tiga hotel-hotel berdampingan dengan rumah-rumah warga, kita bisa melihat bagaimana warga lokal sehari-hari. Pantainya lebih panjang dan tidak banyak sampan parkir di pantai. 


Tidak terbayang bagaimana padatnya Iboih pas liburan sekolah satu minggu sebelumnya. Kata warga kenderaan sampai sulit bergerak. Iboih memang jadi favorit karena aktivitas snorkeling dan divingnya. Kami sendiri takjub dengan pengalaman ini. Berenang di antara ikan-ikan yang cantik. Kukira ikan-ikan itu berdatangan sendiri saking banyaknya.Tapi bukan. Kita harus membawa mie instan yang sudah direndam larutan tertentu. Cairannya agak keruh. Entah apa itu. Begitu mie disebar ikan-ikan langsung berkerumun dan di situlah pemandu menjepret. Bukan cuma manusia yang doyan mie instan ya.


Selama dipandu snorkeling aku tidak menyadari sudah dibawa sampai sejauh apa. Ternyata aku sudah berenang sampai ke bagian dengan kedalaman 2-3 meter. Pengarahan yang diberikan pemandu memang jangan fokus pada kedalaman air tapi fokus saja pada pelampung. Jadi ketika ada air masuk jangan berusaha menjejakkan kaki melainkan membalikkan badan dan membuang air yang masuk ke alat. 






Bersama ikan-ikan cantik


Kami relatif cepat menyesuaikan diri. Anak-anak juga berhasil dibawa oleh pemandu melihat ikan dan berfoto. Setelah waktu pemandu selesai kami lanjut snorkeling secara mandiri. Anak-anak ketagihan walau hanya di pantai tapi mereka bisa melihat ikan-ikan itu. Sekadar berenang dan dihempas-hempaskan ombak pun sebetulnya mereka sudah senang dan betah. 


Hal menarik lain yang bisa dilakukan di Iboih adalah melihat lumba-lumba. Sekitar jam 7 pagi perahu-perahu sudah mulai bergerak hendak melihat lumba-lumba. Aku teralu takut untuk berangkat. Hanya suami dan anak-anak. Namun mereka kurang beruntung. Angin kencang membuat ombak tinggi. Tidak ada lumba-lumba terlihat. Mau bergerak agak jauh ke tengah lautan terlalu berbahaya. Meskipun tidak bertemu lumba-luma mereka pulang dengan wajah sumringah. Ombak tinggi yang menghempaskan perahu mereka menjadi atraksi menakjubkan.  Dasar bocah ya.  




Yang ini sudah mandi tapi dengan wajah yang sudah gosyong



Bukan cuma tempatnya yang bagus, orang-orang di Sabang juga ramah. Tidak pernah ada terdengar kecurian di sana. Warung tidak perlu dikunci. Hotel-hotel di situ pun tidak perlu memakai pagar. Kacanya tidak perlu pakai teralis. Tindak kriminal sangat rendah. Walaupun propinsi Aceh dikenal dengan syariat islamnya tapi di Sabang cukup longgar. Para bule boleh memakai bikini di area tertentu. Aku juga merasa nyaman di sana termasuk pas berada di Banda Aceh. Bahwa di Banda Aceh harus memakai kerudung hanyalah desas desus belaka.


Perjalanan pulang terasa lebih ringan bagiku. Tapi tidak bagi Pak Etha karena dia terkena diare. Perjalanan kali ini memberi kami pengalaman luar biasa bukan hanya menikmati alam Sabang, tapi hubungan kami juga semakin dekat. Sempat ada gesekan dengan Pak Etha tapi berhasil kami bicarakan dengan baik. Sempat muncul rasa takut pada laut tapi berhasil menghadapinya. Ada banyak hal di luar rencana tapi kami berhasil berdamai dengan itu. Kupikir daya tahan anak-anak dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan juga semakin baik. Bagaimana mereka bisa bertahan berjam-jam di mobil, berjam-jam menunggu di pelabuhan, ikut membantu menenangkan B, memakan makanan yang ada, dan tentu saja otot petualangannya semakin kuat. Semoga ini menjadi bekal bagi mereka kelak lebih berani lagi mencoba hal-hal baru.








Comments

Popular posts from this blog

Belajar Akademis ala Charlotte Mason