Perceraian


Di waktu yang bersamaan mendengar dua kabar perceraian. Pertama dari sosok yang sangat aku kagumi dan yang kedua dari teman dekatku. Yang pertama sudah menikah 21 tahun dengan 3 anak. Entah apa masalahnya. Hingga saat ini rasanya belum percaya dengan kabar tersebut. Aku mengenalnya sebagai sosok yang bertanggungjawab dan penuh kasih terhadap orang lain. Bagaimana mungkin dia hendak menceraikan istri yang selama ini bersama-sama dengan dia melewati berbagai masalah hidup. Keluarga yang selalu dibawa ke ruang publik sebagai keluarga yang harmonis dan kuat kini sedang dihempas badai dan terancam karam.


Yang kedua, teman dekat yang dengannya aku melewati masa kecil, memutuskan meninggalkan suaminya yang berkelakuan kasar. Mereka sudah menikah hampir 6 tahun dengan 2 anak. Dia bukan hanya menerima perlakuan kasar dalam perkataan tapi juga fisik. Ohhh, aku ikut menitikkan air mata kala mendengarnya bercerita lewat telpon. Ia saat ini mengerjakan apa saja yang halal asalkan punya uang untuk makan dan sekolah anaknya. Tubuh yang dulu ramping berisi kini tinggal tulang berbalut daging tipis dan kulit. Keluarga tak satupun yang bisa diandalkan. Suami yang seharusnya menjadi tempat berlindung kini jadi musuh.

Konflik dalam rumah tangga ternyata tak mengenal usia pernikahan. Dua pulu satu tahun harusnya bukan waktu yang singkat lagi bagi mereka untuk saling mengenal, saling mengasihi dan memaafkan. Seharusnya mereka sudah fasih mengatasi hempasan-hempasan ombak agar biduk rumah tangga bisa tetap melaju. 

Untuk kasus temanku yang memang baru 6 tahun menikah, sulit bagi mereka untuk tetap saling mengasihi ketika ada banyak permasalahan yang menekan. Bukannya saling mendukung malah saling menyalahkan. Bukannya membangun malah saling menyakiti. Aku memang hanya mendengar cerita dari satu pihak. Tapi bagaimanapun itu yang paling menderita adalah perempuan yang secara fisik sangat lemah ditambah lagi harus menafkahi anak-anaknya seorng diri.

Kisah pilu ini membawaku melihat pernikahanku sendiri. Pernikahan yang kami bentuk atas dasar saling mencintai dan di hadapan Allah berkomitmen untuk tetap saling mengasihi hingga maut memisahkan. Komitmen untuk saling mengasihi ini yang harus terus diperjuangkan. Rasa cinta yang mendebarkan jiwa perlahan akan menghilang dan seharusnya berganti dengan rasa saling bergantung satu sama lain, saling membutuhkan dan menjadi bagian dari diri sendiri. Terus terang kuakui ini tidak mudah. Sejauh ini memang tidak ada masalah yang gimana-gimana. Walau terkadang berbeda pendapat, salah satu mau mengalah akhirnya bisa sepakat. Kebiasaan-kebiasaan buruk sejauh ini masih bisa ditolerir dan didiskusikan untuk sama-sama berubah. Tapi ke depan tentu tak satupun yang bisa menjamin badai apa yang akan menerpa, kami hanya bisa berserah, memohon anugerah Tuhan agar dimampukan untuk tetap saling mengasihi.

Kepada beliau yang kukagumi, aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan membukakan jalan yang terbaik bagi keluarganya.

Kepada temanku yang malang, aku hanya bisa menyemangatinya agar tidak menyerah berjuang bagi kedua anaknya. Sulit bagiku memberi saran agar dia mengampuni suaminya dan berusaha untuk rujuk kembali.
Aku hanya berbisik dalam hati agar suaminya bisa berubah dan berusaha membangun keluarganya lagi.

Tuhanlah yang menolong...


Comments

Popular posts from this blog

Belajar Akademis ala Charlotte Mason