Bapak

 Foto dari Sini
Sejak SMP kelas tiga aku sudah ngekost. Jadi setiap awal bulan, sekitar tanggal 4-6, sehari setelah gajian, bapak akan datang mengantar uang belanja. Jika bertepatan hari kerja maka bapak akan datang ke sekolah, jika hari minggu, bapak datang ke tempat kost.
Kala itu handphone masih barang mewah. Telpon kabel pun tak punya. Jadi tak ada pemberitahuan apa-apa kapan bapak akan datang. Setiap awal bulan, di saat uang belanja mulai menipis, aku selalu harap-harap cemas menanti namaku dipanggil guru. Karena aku termasuk siswa baik-baik, jadi panggilan guru agar aku datang ke meja piket hanya berarti satu, bapakku datang.

Pertemuan kami selalu singkat. Antara tidak mau lama-lama meninggalkan pelajaran di kelas dan juga cukup sungkan untuk bicara panjang lebar di depan guru yang sedang piket. Bapak cukup hanya tersenyum, menanyakan apakah semua lancar-lancar saja, apakah ada masalah. Dan tentu saja semua kujawab baik-baik saja. Lalu bapak pun menyerahkan uang belanja dan pergi pulang ke kampung. Sepatu bapak kalau tidak berlumpur pasti berdebu. Beda dengan sepatu guru-guruku yang selalu kinclong. Gimana tidak kotor, bapak naik sepeda motor melewati jalan rusak yang becek di musim hujan dan berdebu di musim kemarau. 

Setelah aku bekerja, aku pernah dibonceng bapak naik sepeda motor melewati jalan yang sama yang selalu dilaluinya untuk mengantar uang belanja. Betapa melelahkan dan sangat tidak nyaman dan entah berapa banyak debu yang masuk terhirup. Pakaian sebagus dan sebersih apapun akan jadi kumal tertutup debu. Itulah yang selalu dilaluinya paling tidak sekali sebulan, bertahun-tahun. Ketika kuliah, uang bulanan untukku sudah ditransfer lewat bank. Tapi bapak tetap harus ke kota untuk menyetornya karena di kampungku belum ada bank pada saat itu.

Ada pengorbanan yang besar yang telah dilakukannya agar aku bisa sekolah. Ya memang sudah sewajarnya orang tua menyekolahkan anak-anaknya. Tapi membiayai pendidikan yang tidak murah dengan gaji guru yang pas-pasan adalah pengorbanan yang cukup besar. 

Setelah tamat kuliah lalu bekerja, tak banyak permintaan bapak. Aku ingat bapak pernah menyampaikan keinginannya. Ingin merasakan naik pesawat. Waktu itu aku sudah bekerja di Riau. Kalau bapak sehat, terbang ke Riau bukanlah hal yang sulit. Tapi waktu itu bapak sedang sakit dan bolak balik keluar masuk rumah sakit. Pada saat itu aku berjanji kalau bapak sehat aku akan membelikannya tiket pesawat ke Riau. Namun, tidak berapa lama, justru akulah yang terbang pulang ke kampung untuk menemui dia yang sudah terbujur kaku. Sakit akibat kebiasaan buruk dan pikiran akan masalah keluarga yang tak habisnya membuat fisik bapak sangat lemah. Bapak pergi di usia 57 tahun.

Kehilangan orang yang sudah sangat berjasa kepadamu namun belum banyak hal yang bisa kau lakukan kepadanya, itu sangat menyakitkan. Belum banyak hal-hal yang menyenangkan yang kami lakukan bersama-sama. Bahkan cucu yang 4 bulan kemudian akan lahir pun tak sempat dilihatnya. Begitulah kehidupan, ada yang mati, ada yang lahir. 

Mataku terasa panas seperti baru mengiris sebaskom bawang merah saat ini. Aku memang mendadak sangat melow kalau membicarakan tentang keluarga. Makanya dengan mamak, aku sangat jarang membahas tentang bapak karena takut aku akan menangis dan tentu saja mamak pun akan ikut menangis. Haiyaaa, situasi yang sangat tidak kusukai. Bukankah hidup ini harus dijalani dengan gembira?

Tapi kali ini walaupun disertai deraian air mata, aku ingin menngingat bapak, menuliskan sedikit dari banyak hal tentang dia. Dia memang bukan bapak yang sempurna tapi dia adalah bapak yang terbaik bagiku. Tanpa dia, aku tidak bisa seperti saat ini. 

Bagaimana pun keadaanmu saat ini, pastilah selalu ada orang-orang yang sudah berkorban bagimu. Entah itu orang tua, kakek, nenek, saudara ataupun teman. Jika mereka masih hidup, lakukanlah yang baik bagi mereka. Jika mereka telah tiada, biarlah hal-hal baik yang telah mereka lakukan menjadi inspirasi bagimu untuk melakukan hal yang sama kepada orang lain.

And, at the end. Betapa aku merindukan bapak!

Comments

Popular posts from this blog

Belajar Akademis ala Charlotte Mason