Menapaki Jalan Mulia Pendidikan ala Charlotte Mason

Akhir-akhir ini aku mengikuti perbincangan di medsos tentang agama dan sains oleh beberapa tokoh yang saling sahut menyahut dengan tulisan yang panjang-panjang. Aku tak sepenuhnya mengerti tapi menikmati perdebatan tersebut. Setiap selesai membaca satu tulisan aku bergumam dalam hati, "mantap kali lah orang ini mau dan mampu memikirkan semua ini". Lewat tulisan-tulisan tersebut aku membaca banyak pemikiran-pemikiran dari nama-nama yang pastinya baru kali itu kedengar. Akhhhh, betapa luasnya pengetahuan dan betapa luar biasanya pikiran manusia. Sejak dahulu kala manusia terus berpikir, merenung, berefleksi, menganalisa dan merumuskan banyak hal tentang kehidupan. Ada yang bermanfaat namun tak sedikit pula yang membawa mudarat. Manusia dengan kemampuan berpikirnya bisa membuat kehidupan ini menjadi lebih baik namun bisa juga membuatnya bak neraka yang mengerikan. Memang begitulah seorang manusia, di dalam dirinya ada tersimpan potensi menjadi baik ataupun menjadi buruk. Kepada seluruh orangtua di muka bumi ini yang kepada kita dipercayakan anak, kelak anak tesebut bisa menjadi berkat namun bisa juga menjadi kutuk.

Pendidikan Sebagai Jalan

Tentu sebagai orangtua yang meyakini bahwa anak adalah titipan Tuhan tak akan menginginkan anaknya menjadi kutuk. Anak yang baik, berakhlak mulia dan jadi berkat bagi sesama adalah harapan yang selalu dibisikan lewat doa. Namun, cukupkah jika kita hanya berharap dan berdoa saja? Tidak! Ada proses panjang yang musti dilalui, yakni pendidikan.

Namun, pendidikan yang bagaimana kah yang mampu mewujudkan harapan yang besar tersebut? Mungkin kita akan berpikir jenis pendidikan yang berisi kegiatan-kegiatan menyenangkan, ruangan yang nyaman, fasilitas yang mapan, guru-guru yang aktif dan kreatif. Semua ini tentu baik dan sangat berguna bagi perkembangan anak, tapi ini hanyalah menyentuh bagian eksternal anak. Anak adalah pribadi yang utuh. Dia hidup. Setiap kehidupan akan bertumbuh jika diberi makanan. Budi manusia dimana segala pertimbangan berasal, bisa juga disebut sebagai sisi spiritual manusia, adalah hidup. Mirip seperti tubuh. Ya, tubuhlah analogi yang tepat untuk mengambarkan bagaimana kerja budi ini. Tubuh akan berkembang dengan baik jika asupannya bergizi dan beragam, tubuh juga butuh istirahat agar tidak kelelahan, butuh latihan agar prima dan butuh oksigen untuk bernafas. Demikian halnya budi manusia butuh aktivitas, nafas, istirahat dan asupan yang bergizi dan beragam.

Aktivitas Mental Bukan Makanan

Aku adalah produk sekolah jadi ketika membahas filosofi pendidikan CM ini pikiranku tak bisa lepas berkaca pada apa yang kualami semasa sekolah dulu dan sistem yang kujalani dulu kurang lebih masih sama dengan kondisi sekarang. Guru menerangkan dari buku pelajaran, guru melontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan materi yang baru dijelaskan, diberi tugas untuk dikerjakan di rumah, diberi kisi-kisi menjelang ujian, menghapal materi ujian atau latihan soal untuk eksakta, ujian, dapat nilai, dapat rapor, dapat ijasah. Tamat.  Semua kegiatan tersebut hanyalah aktivitas mental. Mendengar, menghafal, mengerjakan soal, menjawab soal ujian tak akan bisa memenuhi kebutuhan budi akan makanan. Memasukan informasi ke pikiran memang seolah-olah memberi makan akal budi, namun sekedar informasi tidak akan mampu menumbuhkan budi. Itu seperti memberi batu pada anak padahal anak butuhnya  roti.

Berikan Ide Hidup

Aku teringat pada kisah yang pernah kubaca sewaktu kecil dari buku yang judulnya Anak-anak Karimata. Anak-anak di sekitar  Selat Karimata menghabiskan hari-hari mereka menyelam di laut untuk menangkap ikan tanpa peralatan apapun. Sebagai anak pulau mereka secara alamiah terbentuk dengan keahlian berenang dan menyelam yang mumpuni. Suatu ketika, salah satu anak mengalami kesulitan di dalam laut, salah satu tangannya tersangkut di antara bebatuan ketika dia hendak menarik ikan yang berhasil ditombaknya. Teman-teman yang melihatnya berupaya sedemikian rupa agar tangan tersebut bisa terlepas. Berkat kerja keras dan gotong royong, teman tersebut berhasil diselamatkan.  Kerja keras dan pantang menyerah, itulah yang terkenang setiap kali imaji tentang kisah tersebut muncul. Aku heran sebenarnya, kok bisa kisah yang sederhana ini tertancap kuat dalam ingatanku.

Mungkin itulah namaya ide hidup. Suatu gagasan yang memantik benak untuk berpikir, berefleksi  dan berimajinasi. Gagasan inilah kata CM sebagai makanan bagi budi. Saat ini sebenarnya informasi yang mengandung ide banyak bertebaran yang disajikan sedemikian rupa hingga kita dapat dengan mudah terinspirasi. Ambil saja contoh kisah-kisah sukses yang disajikan di youtube, talkshow di telivisi tentang orang-orang baik hati yang sukses dalam harta maupun karya di berbagai bidang. Itu bisa saja menginspirasi kita tapi daya hidupnya masih kurang.

Tubuh akan sehat luar dalam (bukan hanya terlihat sehat dari luar) jika diberi asupan yang bergizi. Makanan bergizi yang dapat dicerna oleh tubuh dengan baik haruslah yang minim proses. Istilahnya real food. Sosis memang mengandung protein tapi tubuh akan sulit mencernanya karena sudah diproses panjang, beda dengan ikan segar yang ditim dengan bumbu yang sederhana. Sayuran yang terlalu matang akan kehilangan enzim dan vitamin. Tubuh yang diasup dengan sayuran segar akan terasa lebih bugar dibandingkan mengkonsumsi sayuran matang. Oke, aku tidak sedang berubah haluan jadi menulis topik makanan sehat, jadi mari kembali lagi pada makanan budi. Kisah-kisah sukses yang dikemas dengan apik kira-kira posisinya sama dengan makanan olahan ini. Iya, makanan  olahan bisa membuat lidah dan perut puas tapi tidak membuat tubuh sehat. Informasi-informasi singkat sekalipun menginspirasi bisa membuat hati senang tapi daya hidupnya tidak cukup untuk membuat budi sehat. Lalu apakah real food bagi akal budi itu?

Pikiran Bertemu Pikiran Akan Lahir Pikiran Yang Baru

Mari berandai-andai sejenak. Andai kita punya pintu doraemon dan kita bisa masuk kemana saja bertemu dengan siapa saja di segala zaman. Selain ingin bertemu dengan orang-orang yang kita sayangi tentu kita juga ingin bertemu dengan tokoh-tokoh yang kita kagumi. Kita ingin berbicara langsung, mendengarnya menuturkan ajaran atau pemikirannya, merasakan kharismanya. Lalu kita pulang dengan puas, bahagia dan telinga terus mendengungkan kata-kata yang keluar dari mulutnya, pikiran tak henti-henti merenungkan, hingga akhirnya muncul pencerahan dalam diri yang mengokohkan langkah demi langkah dalam menjalani hidup ini.

Kita memang tidak punya pintu doraemon tapi kita masih bisa menjelajahi berbagai masa lewat buku yang adalah jendela dunia. Pemikiran-pemikiran agung yang mengagumkan telah banyak dituliskan dalam pustaka. Pustaka ini mestilah yang berasal dari pemikirnya, bukan yang sudah diringkas atau diolah sedemikian rupa supaya kita yang membaca memperoleh semua nutrisi yang terkandung di dalamnya. Jika akal budi mendapatkan asupan makanan seperti ini maka dengan sendirinya akal budi akan mencerna, menyerap nustrisinya lalu membentuk apa yang disebut CM sebagai jaringan spiritual.

Aku kembali lagi membayangkan tubuh. Nutrisi di dalam makanan digunakan oleh tubuh untuk membentuk sel-sel tubuh. Jika asupan nutrisi kurang sel akan rusak, maka kita akan sakit. Budi juga demikian. Jaringan spiritual ini akan terbentuk dan selalu dalam kondisi sehat jika asupan nutrisinya cukup dan berkelanjutan. Kecukupan makanan bagi budi ini sering kali kalah dibandingkan dengan makanan bagi tubuh. Tubuh dapat makanan besar tiga kali sehari, budi juga harus mendapat porsi yang banyak. Sebagai pribadi yang punya selera sendiri maka sajian makanan inipun harus bervariasi, biarkan benak anak yang memilih mana yang mau dicerna.

Percaya Proses Yang Di Dalam

Setiap kali kita menyajikan berbagai macam makanan sehat untuk anak, lalu anak dengan lahap menyantapnya. Tak perlu dibujuk-bujuk. Tentu ini akan terlihat dari tubuhnya yang berkembang, jarang sakit, ceria dan segar. Demikian juga budi yang mendapat asupan makanan sehat dan bervariasi dengan porsi yang cukup, pertumbuhan itu pasti terlihat sekalipun bukan sesuatu yang terukur seperti berat badan. Benak yang sehat pasti akan mencerna makanan yang masuk, selanjutnya dia akan lapar lagi dan mencari makanan lagi dengan sendirinya, dia akan mampu menyerap yang baik dan membuang yang buruk dengan sendirinya juga, dia akan mampu berjalan sendiri tanpa harus ditarik atau dipaksa. Mandiri. Ada kekuatan, motivasi , dorongan, yang terbentuk dari proses yang terjadi di dalam benaknya. Inilah yang dimaksud CM sebagai self education. 

Seperti tubuh yang sudah memiliki sistem pencernaan, akal budi manusia juga punya sistem pencernaan. Tugas kita hanyalah memberi makanan. Tugas orangtua sebagai pendidik 'hanyalah' menyediakan makanan tersebut dan memastikan mereka memakannya. Aku memberikan tanda petik pada kata hanyalah karena ini terlihat sepele tapi bagiku justru hal ini sangat sulit dilakukan dan butuh iman yang besar. Aku besar lewat pendidikan utilitarian, dan saat ini sedang dikepung hal yang sama. Dimana pencapaian proses pendidikan fokus pada nilai akademis dan kompetensi yang sesuai dengan selera pasar, bukan selera Tuhan. Tujuan utama bukan akhlak yang luhur tapi bagaimana supaya hidup yang masyhur. Ini jelas menantang arus. Harus siap tampil beda. Akhhh, tapi bukankah Tuhan dalam kitabnya berkata "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini,..."


Tulisan ini adalah Narasi dari Nukilan Bab I-Volume 6 Philosophy of Education terjemahan Ellen Kristi pada pertemuan I Kelas Akademis CM yang dipandu oleh Ayu P pada tanggal 5 Juli 2020.




Comments

Popular posts from this blog

Belajar Akademis ala Charlotte Mason