Kurikulum Yang Kaya Demi Hidup Yang Penuh Makna

Aku lahir dan besar di sebuah desa kecil di Sumatera Utara. Selama masa sekolah aku menghirup atmosfer bahwa tinggal di kampung itu tidak keren, apalagi kalau pekerjaannya petani. Yang keren itu adalah jadi PNS, tinggal di kota besar dan pas mudik ke kampung bawa mobil. Aku masuk sekolah, mengerjakan PR, mengulangi pelajaran pas mau ujian, semua aktivitas itu digerakan oleh semangat agar kelak aku tidak tinggal di kampung dan bisa kerja di kantoran di kota besar. Sejak kecil aku juga sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga. Mencuci pakaian dan perabotan ke sungai, cari kayu bakar dan sayur ke hutan, memasak, membersihkan rumah dll. Setelah urusan pekerjaan domestik beres, aku dan teman-teman secara mandiri bermain bersama di halaman rumah, sorenya aku menonton TV di rumah tetangga. Aku mengerjakannya dengan sukarela dan bertanggung jawab karena aku sadar bahwa beginilah hidup di kampung. Kelak, kalau aku "berhasil" di kota aku tak perlu lagi mengerjakan semua ini, pikirku kala itu.

Kurikulum Jangan Berdasarkan Kebutuhan Industri

Kurang lebih seabad yang lampau, Charlotte Mason (CM) mengkritik sekolah yang tak punya wewenang dalam menentukan kurikulumnya sendiri. Apa yang diajarkan di sekolah tergantung pada apa yang akan diujiankan (teaching to the test). Sebenarnya persis seperti yang terjadi saat ini. Kurikulum sekolah selalu berubah-ubah tergantung siapa yang memimpin. Acuannya jelas-jelas hanya sebatas hitung-hitungan ekonomi. Saat ini butuhnya tenaga kerja yang kayak apa, sih? Lalu, bertahun-tahun kemudian dibicarakan lagi, ohhh sekarang ini butuhnya yang begini, begitu seterusnya tak ada acuan standard. Seperti yang dituliskan Mbak Tami di sini. Jika kurikulum sekolah tergantung pada kebutuhan industri maka kurikulum itu akan terus berubah kerena industri terus berubah.

Kurikulum Yang Sesuai Kebutuhan Anak

Padahal, menurut CM, kurikulum itu seharusnya mengacu pada kebutuhan anak. Untuk memahami kebutuhan anak ini maka musti dipahami dulu kodrat anak itu seperti apa. Manusia yang hidup di dunia ini itu seperti apa, sih?

Setelah selesai kelas akademis pertemuan kedua hari minggu lalu yang membahas kurikulum CM, aku teringat pada satu buku yang sudah lama kupunya. Buku Viktor L. Frank, judulnya Men's Search For Meaning. Menurut Viktor, manusia menjadi manusiawi jika dia bisa menemukan makna hidupnya. Makna hidup itu adalah sesuatu atau seseorang yang berada di luar dirinya yang kepadanya dia mengabdi dan menyerahkan diri. Makna ini bersifat personal dan unik, hanya dia sendirilah yang dapat memahami dan menjalankan makna tersebut dengan sukarela. Biasanya seseorang menemukan apa makna hidupnya lewat keberhasilan yang dicapai atau sebaliknya, lewat penderitaan yang dialami (dalam buku ini Viktor fokus menjelaskan menemukan makna hidup lewat penderitaan).  Bisa juga makna hidup ditemukan dengan mengalami berbagai hal seperti kebaikan, kebenaran, keindahan (alam, budaya), juga dengan bertemu berbagai jenis manusia dengan segala keunikannya.

Kembali kepada kodrat anak. Menurut CM, anak-anak secara alamiah memiliki hasrat untuk belajar banyak hal. Hasrat tertingginya adalah untuk memiliki pengetahuan dan mengenal Bapanya yang Mahakuasa. Aku merenung-renungkan hal ini. Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya, itulah yang disebut dengan pengetahuan. Namun, pengetahuan ini masih bersifat misteri bagi seorang anak yang baru lahir. Untuk menguak misteri pengetahuan ini, Tuhan memperlengkapi manusia hasrat belajar. Dan menurutku, selapis demi selapis pengetahuan yang terkuak seharusnya membuat manusia semakin memahami makna hidupnya, mengapa dia ada di dunia ini, bahwa ada tugas khusus yang diembannya, seperti yang dijelaskan oleh Viktor L. Frank di atas, dan tugas itu berasal dari Bapanya.

Namun, dengan kurikulum yang membatasi pengetahuan hanya demi ujian, ditambah lagi atmosfer yang menganggap tujuan sekolah adalah untuk merubah status sosial, akan sulit bagi anak-anak didik untuk memahami makna hidup selain untuk pencapaian-pencapaian ekonomi demi status sosial yang lebih tinggi.

Kurikulum yang Kaya

CM berkata ada tiga hal yang harus dipertimbangkn dalam menyusun silabus untuk anak normal dari kelas sosial apapun yakni;

- anak butuh banyak pengetahuan, sebab akal budi butuh cukup makanan
- pengetahuan harus beragam, sebab diet mental yang monoton tidak membangkitkan selera
- bahasa yang digunakan harus indah (sastrawi)

Banyaknya pengetahuan ini meliputi semua aspek kehidupan manusia. Tuhan, manusia dan alam. Semuanya memiliki manfaat bagi kehidupan akal budinya, tak boleh ada diskriminasi antara subjek yang satu dengan yang lain. Setelah mengikuti pemaparan Mbak Ayu mengenai kurikulum CM ini, aku melihat subjek/mata pelajarannya sama dengan jaman sekolahku dulu, namun yang membedakan adalah instrumennya yakni living book dan narasi. Tulisan tentang narasi ada di sini. Living book masih peer :P

Aku membayangkan jika setiap anak dari kelas sosial apapun selalu dipaparkan dengan kebaikan, kebenaran dan keindahan dunia ini, diasup terus menerus dengan pemikiran-pemikiran agung yang pernah ada, maka si kaya tak akan berleha-leha karena segalanya sudah tersedia, atau si miskin merasa putus asa karena tak punya apa-apa. Semua anak-anak dari kelas sosial manapun akan memiliki pemahaman yang makin menyala dan terang tentang hidup ini, dan dengan rela mau mengabdi demi makna hidup.

Nilai-Nilai Kekal Itulah Yang Bermakna

Aku terkesan mendengar podcast CMid minggu ini, seorang anak yang belum pun tamat SMA sudah menyadari bahwa semua manusia harus hidup teratur agar tercipta keteraturan di dunia ini. Bahwa hidup orang lain akan terdampak jika dia tidak mematuhi aturan. Ini ungkapan anak umur belasan yang pada umumnya masih sibuk memikirkan diri sendiri, tapi berkat didikan ala CM (dengan keuletan orangtuanya tentu saja), dia sudah mampu memikirkan orang lain. Aku jadi teringat kondisi di jalan raya dimana banyak yang sudah tua dengan mobil yang mewah namun tak mau taat aturan lalu lintas.

Kalau kuingat-ingat lagi pemahamanku dulu, aku merasa miris. Tingkat kekerenan dilihat dari tinggal dimana dan pekerjaannya apa. Padahal ya setelah kurenung-renungkan sekarang, mana mungkin sebuah kota bisa hidup tanpa adanya desa. Bagaimana aku setiap hari bisa makan tanpa petani? Eh, kutanya suamiku apa yang mendorong dia mau sekolah dan kuliah, ternyata jawabannya sama, gak mau kerja di sawah karena melelahkan dan tidak keren. Syukurlah, dengan mengalami berbagai hal, bertemu banyak orang, pemahaman itu pelan-pelan berubah. Terutama setelah belajar CM ini, aku menyadari bahwa tak ada yang tak berguna di dunia ini. Aku pernah komentar di statusnya Mama Hoinos waktu dia posting ulat daun jeruk, "dulu sebelum kenal CM langsung awak pijakan aja ulat ini kalau kutengok, sekarang malah marlove-love lihat ulat walaupun daun jeruk habis dilahap". Hahaha.

Yes. Jika melihat dengan hati maka tak ada yang tak berguna di dunia ini. Dan setelah bejar CM inilah aku semakin bisa melihat dengan hati. Semain banyak hal yang indah kulihat, semakin bermakna hidup ini terasa. Ehhh, padahal aku belum belajar kurikulum yang kaya ini. Aku semakin semangat melewati jalan ini. Aku membayangkan akan lahir orang-orang yang memaknai hidup ini dengan nilai-nilai yang kekal. Petani yang memang terpanggil menjadi petani bukan karena terpaksa sehingga dia bertani dengan bijak, nelayan yang memang terpanggil menjadi nelayan yang respek pada alam, pejabat yang memang terpanggil menjadi pejabat yang tak gila hormat, dst.

PS. Sebenarnya ini tidak tepat disebut narasi dari pertemuan kedua Kelas Akademis CM hari Minggu tanggal 12 Juli yang lalu karena tulisan ini sudah melantur kemana-mana tapi memang ini yang berputar-putar di kepalaku. Minggu depan musti komit ini bikin tulisan tentang praktik CM. Hahhahaha.

Comments

Popular posts from this blog

Belajar Akademis ala Charlotte Mason