Aku Malas Sekolah

Seorang anak perempuan kelas 4 SD memiliki kemampuan akademis yang jauh tertinggal. Ditinjau dari kurikulum, seharusnya dia sudah lancar baca, tulis dan operasi matematika tambah kurang dan perkalian sederhana. Namun nyatanya dia masih pada level belajar membaca, tambah kurang masih tersendat apalagi perkalian. 

Kami mendengar dari teman-temannya bahwa dia sudah hampir sebulan tidak masuk sekolah. Tak seorangpun temannya yang tahu alasannya apa. Kamipun berusaha mencari tahu, caranya dengan menyediakan waktu berdua (kakak pengajar dan si anak) di luar lokasi belajar. Alasannyapun terungkap, dia sering diejek teman-temannya juga dimarahi guru. 

Tertinggal secara akademik, tidak mampu bergaul, kondisi keluarga yang kacau dan objek kemarahan guru tentu lebih dari cukup untuk membuatnya jera datang ke sekolah. Tentu berangkat ke sekolah baginya bukanlah hal menyenangkan tapi menakutkan. Dia akan berhadapan dengan orang-orang yang akan menyakitinya. Wajarlah dia memutuskan untuk berhenti.

Ada banyak anak-anak di Indonesia pada saat ini mengalami hal yang sama. "Aku tidak mau sekolah". Beruntung jika anak tersebut memiliki orang tua yang peduli dan segera tanggap untuk memberikan solusi. Pada kasus anak yang di atas, orang tuanya hanya tinggal diam. Tidak ada usaha yang berarti dilakukan agar anaknya kembali ke sekolah. 

Apakah salah si anak jika dia lemah secara akademik? Bisa jadi, mungkin dia malas belajar, di kelas sering berhayal & mengantuk, tidak pernah mengerjakan PR, dan seterusnya.

Oke! Itu dari sisi si anak. Lalu bagaimana dengan orang tua, guru dan sistem sekolah? Apakah mereka punya andil menciptakan anak-anak yang takut ke sekolah karena alasan di atas?

Yes! Absolutely.

Sekolah kita saat ini menggunakan kurikulum yang berlaku sama seluruh Indonesia. Materi pengajaran tentu harus mengacu pada kurikulum ini. Bab demi bab pelajaran harus segera diselesaikan sebelum ujian evaluasi diselenggarakan. Jumlah anak dalam satu kelas cukup banyak. Untuk sekolah negeri rata-rata 30 anak/kelas dengan kemampuan yang berbeda-beda.  Dibutuhkan guru yang berdedikasi tinggi untuk bisa mengenali kebutuhan tiap anak. Dan itu akan sangat sulit dilakukan mengingat jam sekolah yang singkat. itupun kebanyakan diisi dengan belajar-mengajar satu arah (guru yang menyampaikan di depan kelas). 

Orang tualah yang seharusnya paling bisa melihat kebutuhan si anak. Apakah dia bisa mengikuti pelajaran? Apakah dia bisa bergaul di sekolah? Apakah dia diperlakukan baik oleh teman-temannya? Dan seterusnya. Namun kenyataannya, masih banyak orang tua yang merasa bahwa tanggung jawabnya adalah sebatas mencari nafkah. Selagi ada sandang,pangan dan papan cukuplah. Padalah anak juga butuh orang tua secara psikis. Butuh diperhatikan hingga ke hatinya. 

Jika banyak anak-anak akhirnya malas pergi ke sekolah bukankah semua pihak harus bertanggung jawab dan berbenah.


Comments

Popular posts from this blog

Belajar Akademis ala Charlotte Mason