Seminggu di Bali Sungguh Aku Ingin Kembali Part III (Pura Tanah Lot & Pura Taman Ayun)

Tidak seperti dua hari sebelumnya, kali ini perjalanan kami ditemani terik matahari yang luar biasa panas. Oh iya, selama di Bali, kami kemana-mana menggunakan motor. Walau terik tapi semangat untuk berpetualang tak boleh surut. Dengan mantap kami berangkat ke Pura Tanah Lot.


Di Depan Pura Tanah Lot
Walaupun aku berasal dari kampung yang sudah terbiasa dengan pemandangan sawah, tapi perjalanan ke Pura Tanah Lot yang di kiri-kanan kulihat sawah sungguh kunikmati. Padi hijau yang terhampar di bedeng-bedeng kecil bertingkat sungguh menentramkan hati. Konon, pemandangan sawah di Ubud jauh lebih indah. Sayang kami tidak sempat berkunjung kesana.

Yang di belakang itu Pura Batu Bolong


Pura Batu Bolong

Ketibaan kami di Tanah Lot bersamaan dengan rombongan wisatawan Korea. Duh, kulit mereka mulus-mulus bak pantat wajan yang masih baru. Beberapa dari mereka pakai jaket, payung dan topi lebar. Mungkin takut kemulusannya ternoda. Ini nih bedanya turis timur dan barat. Kalau bule-bule itu sangat senang terpapar matahari. Jarang ada bule yang pakai payung (nyaris tak pernah kutemukan) pun pakai jaket ketika naik motor.  Beda dengan yang lokal dan negara asia lainnya.

Kembali ke Tanah Lot. Hehehhe. Di Kawasan ini ada 2 pura. Pura Tanah Lot dan Batu Bolong. Saya dan Etha berfoto persis di antara Pura Batu Bolong dan Pura Tanah Lot. Pura Batu Bolong dan Pura Tanah Lot sama-sama berdiri di atas bukit batu yang menjorok ke laut. Hanya saja di Pura Tanah Lot seolah berada di laut jika air sedang pasang. Pada waktu itu, air sedang pasang jadi tidak bisa menyebrang ke Pura Tanah Lot.

Ada dua peselancar yang sedang menunjukan keahliannya ketika kami disana. Menarik sekali menyaksikan mereka dengan gagah menari-nari di gulungan-gulungan ombak. Nyalinya besar ya. Mereka sudah melewati proses latihan dan persiapan yang panjang tentunya.

Mendekati jam makan siang kamipun bergegas keluar dari kawasan Pura Tanah Lot. Di jalan menuju parkiran, ada banyak kios-kios menjual sovenir khas bali, ada pula yang menjual makanan dan buah-buahan. Iseng saya menanyakan harga manggisnya. Mahal, booo. 45rb/kg. Bandingkan dengan manggis di Medan yang hanya 15rb. Wkwkwk. Karena perut sudah lapar, akhirnya tertarik membeli klepon seharga 5rb sebungkus isi 8 bijik. Klepon termahal yang pernah saya makan.

Perjalanan kami lanjutkan menuju Pura Taman Ayun dengan jarak tempuh sekitar sejam. Sepanjang jalan tak satupun tempat makan yang masuk kriteria kami. Rata-rata menjual bakso dan ayam penyet sedangkan kami butuh babi guling hahahaha. Syukurlah, mendekati tujuan, ada kios berjualan babi guling. Lokasinya di pasar tradisional Mengwi. Harganya murah sekali. Dua porsi nasi campur yang enak + sebotol aqua, seharga 50rb. Akhhh, saya jadi pengen makan nasi campur bali lagi nih...:P

Ini pintu masuk ke puranya. Tapi tidak diperbolehkan masuk, khusus untuk sembahyang saja.


Halaman Pura, di depan pintu masuk pura, rapi dan bersih



Penampakan dalam pura

Treking sampai lelah hahaha
Penampakan dalam pura, diambil dari luar. Ada tembok yang membatasi.

Di bagian belakang pura ini ada hutan mini yang rindang sekali. Setelah lelah berjalan di kawasan pura dan hutan mininya, kami istirahat sambil menikmati camilan khas bali yang dibeli bapak Etha di pasar tradisional Mengwi. Nah, setiap kali ke tempat baru kami senang berkunjung ke pasar tradisional untuk melihat jajanan yang unik. Ada lepet bali yang terbuat dari tepung ketan dicampur kelapa parut dibungkus daun yang tidak saya kenal.

Ketika disana, ada sepasang turis bule yang sudah tua. Istrinya bahkan menggunakan kursi roda. Suami sudah agak bungkuk. Salut ya. Walau dengan fisik yang terbatas mereka bisa traveling bersama. :)

Setelah mengunjungi beberapa pura di Bali (Uluwatu, Tanah Lot, Taman Ayun) ada beberapa kesan yang tinggal di hati; orang Bali sangat menghormati tempat ibadah mereka, walau bangunannya sudah ratusan tahun tapi tetap terawat. Kawasannya dijaga tetap rapi dan bersih. Ini bukan semata-mata kerena sebagai daerah tujuan wisata tapi karena mereka menganggap tempat-tempat tersebut suci jadi harus dijaga kebersihannya.

Saya lalu membayangkan rumah ibadah saya. Di agama saya memang tidak ada pengkultusan tempat atau bangunan tertentu. Yang disucikan bukan gedungnya tapi hati orang yang beribadah. Tapi itu dia, mungkin karena tidak ada pengkultusan jadi seenaknya buang sampah di rumah ibadah. :(

Demikian perjalan panjang kami di hari ketiga di Bali. Awal aku menulis bagian ketiga ini, inginnya sih semua kisah perjalanan kami selesai di halaman ini tapi baiknya akan di lanjutkan di halaman yang lain saja biar tidak terlalu panjang. Hehehe.

Baca juga kisah-kisah sebelumnya  ya disini

Hari Kedua

Hari Pertama

  

Comments

Popular posts from this blog

Belajar Akademis ala Charlotte Mason